Oleh :
Luthfy Rijalul Fikri
I. PENDAHULUAN
Ketegangan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia tidak dimulai baru-baru
ini saja. Jargon “Ganyang Malaysia”
sudah akrab di telinga bangsa kita sejak tahun 1963 lewat pidato Sang
Proklamator, Soekarno. Pidato presiden tersebut menggetarkan setiap detak nasionalisme
bangsa kala itu.
Bermula dari keinginan Inggris menyatukan
wilayah Sabah
dan Serawak sebagai bagian dari wilayah koloninya, Soekarno makin geram dengan
aksi Anti-Indonesia. (Syafaruddin Usman: 28: 2009) Aksi tersebut berujung pada
penginjakan lambang garuda oleh Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tunku Abdul
Rahman. Tidak hanya itu, para demonstran...
pun merobek-robek foto Soekarno dan mengobrak-abrik kedubes RI di Malaysia.
pun merobek-robek foto Soekarno dan mengobrak-abrik kedubes RI di Malaysia.
Pada dasarnya, kondisi demografi Malaysia tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Malaysia dan Indonesia memiliki rumpun yang sama
sehingga tak jarang, banyak kesamaan yang muncul dari kedua negara ini. Dari
segi budaya, tak sedikit budaya kedua negara ini yang hampir serupa, seperti
tarian, adat, atau bahkan ragam makanan. Maka
tidak heran, hubungan kedua negara tetangga ini sering memanas.
Malaysia kerap kali berulah, begitu Indonesia menilainya. Pengklaiman ragam
budaya Indonesia cukup membuat bangsa ini geram. Belum lagi masalah perbatasan
teritorial yang sensitif dan kekerasan terhadap TKI di negeri johor itu yang
akhirnya menyebut bangsa kita sebagai bangsa babu. Malaysia dan Indonesia
menjadi tetangga yang tidak harmonis.
Kedua negara ini sama-sama tidak mau disalahkan. Di Malaysia, pemberitaan-pemberitaan yang dihadirkan adalah pemberitaan
negatif seputar Indonesia. “Media hanya meliput berita negatif di Indonesia,
ini yang membuat hubungan Indonesia dan Malaysia menjadi tidak harmonis,” ujar
Anwar saat memberikan Stedium General Reformasi Politik dan Demokratisasi di
Malaysia (Menuju Persahabatan Setara Malaysia-Indonesia) September lalu di
Hotel Four Season Jakarta. Begitu pun media di Indonesia yang tak pernah
berhenti memberitakan hubungan kedua negara yang selalu memanas.
Dengan latar belakang inilah, penulis mencoba merumuskan masalah, Mengapa
ada keberpihakan media massa (Indonesia) dalam pemberitaan konflik kedua
negara? Bagaimana peran media dalam mengemas isu ini menjadi opini publik?
Untuk itu, penulis, dalam makalah ini, mengambil sikap Pro Keberpihakan Media
Massa dalam Pembentukan Opini Publik dalam Kasus Konflik Indonesia-Malaysia.
II. KASUS
Media massa
pada pertengahan Agustus 2010 lalu disibukkan dengan pemberitaan kasus
Indonesia-Malaysia. Konflik kedua Negara serumpun ini memanas saat tiga petugas
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) ditangkap polisi Diraja Malaysia.
Penangkapan ketiga petugas KKP RI
itu dilakukan di perairan Bintan, Kepulauan Riau. Kepastian lokasi penangkapan
yang jelas-jelas berada di dalam wilayah RI tersebut disampaikan Ahmad Nurdin,
Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Kepulauan Riau. Ditulis Kompas,
Senin (16/8/2010), pernyataan Komisaris Besar itu disampaikan setelah melakukan
cek ulang lokasi dengan menggunakan Kapal Patroli Taka.
Kejadian ini bermula dari tujuh nelayan Malaysia yang
kedapatan mengambil ikan-ikan di perairan Bintan. Petugas KKP yang sedang
berpatroli pun menggiring tiga nelayan tersebut ke Batam dengan memindahkan
mereka ke dalam kapal KKP. Tiga dari petugas KKP mengawal lima kapal
nelayan Malaysia.
Polisi Diraja Malaysia pun
kemudian menggiring lima kapal nelayan
beserta tiga petugas KKP ke Johor setelah melepaskan tembakan peringatan.
Penangkapan tiga petugas KKP menyetrum
sensitivitas rakyat Indonesia.
Media massa
dengan segera menjadikan kasus ini sebagai headline news yang bertengger
pada halaman pertama media-media cetak. Begitu pun pada media massa
lainnya.
Konflik kedua Negara ini lagi-lagi menyinggung
masalah perbatasan. Keduanya mengklaim wilayah perbatasan secara sepihak.
Terkait perbatasan dengan Malaysia, sejumlah wilayah perairan yang masih
menjadi sengketa, antara lain, batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) untuk Segmen
Selat Malaka; batas laut wilayah Indonesia-Malaysia untuk Segmen Selat Malaka
Selatan; batas laut wilayah di Segmen Selat Singapura meliputi wilayah perairan
seputar Pulau Batam, Bintan, dan Johor (Malaysia); batas ZEE Indonesia-Malaysia
untuk Segmen Laut China Selatan; dan batas laut wilayah, ZEE, serta landas
kontinen di Segmen Laut Sulawesi.
(Sumber : kompas.com)
Demonstrasi mengecam Malaysia kembali menyeruak. Rakyat
menuntut ketegasan pemerintah dalam mengatasi perseteruan ini. Jargon pidato
Soekarno untuk Malaysia,
“Ganyang Malaysia”,
menjadi kalimat utama para demonstran dalam teriakan-teriakannya.
Kedubes Malaysia diserbu berbagai ormas dan
kalangan masyarakat lainnya. Aksi unjung rasa Benteng Demokrasi Rakyat
(Bendera) berujung pada perobekan bendera Malaysia
dan pelemparan kotoran manusia ke depan gedung kedubes Malaysia yang bermarkas di Jakarta
tersebut.
Tak hanya demonstrasi, diskusi-diskusi, baik
formal maupun nonformal digelar. Ranah publik di dunia maya tak pernah kosong ditinggal penghuninya. Grup-grup di
berbagai situs jejaring sosial ikut mengkampanyekan kembali aksi ”Ganyang
Malaysia”. Aksi unjuk rasa yang begitu marak di Indonesia membuat Malaysia geram. PM Najib Abdul Razak pun memberikan ultimatum kepada pemerintah Indonesia untuk
menertibkan aksi demonstrasi rakyat. Ultimatum ini dinilai Ketua Dewan Direktur
Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, tidak menghargai Indonesia.
Padahal, pada waktu sebelumnya, SBY telah menyampaikan surat
presiden yang mengajak PM Malaysia berdamai dalam penuntasan konflik ini.
Kedua negara pun akhirnya melakukan pertemuan di
Kinabalu untuk membahas masalah lebih lanjut. Hadir dalam pertemuan ini,
Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia,
Marty Natalegawa beserta jajarannya, dan Menlu Malaysia, Dato’ Sri Anifah Aman.
Dalam konfersi persnya, kedua pihak mengatakan bahwa insiden 13 Agustus
(Penangkapan petugas KKP) tidak akan terjadi lagi. Keduanya pun sepakat untuk
menggunakan jalan diplomasi sebagai solusinya. Selain itu, akan ada pembahasan
lebih lanjut mengenai System Operating Procedures (SOP) di wilayah perbatasan.
Lagi-lagi banyak pengamat yang menyatakan bahwa
para delegasi Imdonesia lembek berhadapan dengan Malaysia. Saat pertemuan, Menlu Malaysia
membenarkan adanya penangkapan tiga petugas KKP tersebut. Namun ia berkilah,
bahwa penangkapan sudah sesuai prosedur Malaysia. “Indonesia tidak protes dengan pernyataan Menlu Malaysia itu, artinya Indonesia mengakui,” kata
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Riza
Damanik dalam Antaranews online, 7 September lalu.
III. TEORI/KONSEP
Dalam kasus konflik Indonesia-Malaysia dapat
dilihat ada keterkaitan media massa dalam hebohnya
masalah ini diperbincangkan di tengah publik. Fungsi dan peran media massa
menurut Lasswell dibagi menjadi tiga, yakni: pengamatan lingkungan, korelasi
bagian-bagian dalam masyarakat untuk merespon lingkungan, dan penyampaian
warisan masyarakat dari generasi ke generasi. (Werner J Severin dan James W.
Tankard Jr, 2008 : 386).
Adapun fungsi yang kedua, korelasi, adalah
fungsi dimana media memeberikan interpretasinya tentang informasi kepada
masyarakat. Melalui fungsi ini, media kerap kali memasukkan kritik atau
pandangannya terhadap isu-isu yang dinilai menyimpang. Media menjadi sebuah
kontrol sosial atas lingkungannya. Media memberikan pandangan kepada khalayak
untuk menyikapi suatu kejadian, misalnya melalui tahuk atau editorialnya. Untuk
itu, dengan fungsi ini media mampu membentuk opini publik terhadap suatu isu.
Opini publik adalah gejala bersegi banyak yang
disusun melalui saling pengaruh di antara proses personal, proses sosial, dan
proses politik, dan diwujudkan dalam bentuk kegiatan massa,
kelompok, dan rakyat.[1]
Opini publik merupakan kumpulan pendapat dari massa terhadap suatu isu atau
kondisi tertentu. Publik dan masyarakat berbeda. Jika masyarakat sifatnya
teratur, maka publik tidak. Ruang lingkup publik lebih kecil dari masyarakat,
karena publik terdiri dari mereka yang tertarik akan suatu isu namun dalam
skala yang masif. Interaksi yang terjadi melalui media massa memungkinkan
publik memiliki jumlah massa yang kemudian terus berkembang.
Bernard Hennessy (1990), dalam bukunya Pendapat Umum mengemukakan 5 faktor
pendapat umum (opini publik):[2]
1. Adanya isu (presence
of an issue), harus terdapat consensus yang sesungguhnya, opini publik
berkumpul di sekitar isu;
2. Nature of publics. Harus ada kelompok yang dikenal dan berkepentingan dengan persoalan itu;
3. Pilihan (complex
of preferences), mengacu pada totalitas opini para anggota masyarakat
tentang isu;
4. Suatu pernyataan /
opini (expression of opinion), berbagai pernyataan bertumpuk sekitar
isu;
5. Jumlah orang terlibat
(number of person involved), opini publik adalah besarnya masyarakat
yang menaruh perhatian terhadap isu.
Opini publik dalam pemerintahan demokratis merupakan hal yang esensial.
Pada prinsipnya, apa yang dilakukan pemerintah harus sesuai dengan apa yang
dipikrkan dan disuarakan oleh rakyat.[3]
Ada beberapa prinsip opini publik yang diungkapkan Dr. Hadley Cantril, seorang
pakar dari Lembaga Penelitian Opini Publik Universitas Princeton yang kemudian
dikenal sebagi hukum opini publik:[4]
1. Opini publik sangat
peka terhadap peristiwa penting;
2. Sekali kepentingan
pribadi sudah terkait maka opini tidaklah mudah untuk diubah;
3. rakyat memiliki lebih
banyak opini dan kemampuan membentuk opini-opini dengan lebih mudah dakam
hubungannya dengan suatu tujuan daripada terhadap cara-cara yag diperlukan
untuk mencapai tujuan itu;
4. cita-cita mewarnai
opini publik sebagaimana halnya dengan opini pribadi jika sesuatu opini
semata-mata berdasarkan kepada sutu cita-cita maka hal itu cenderung
memperlihatkan arah perhatian yang besar terhadap peristiwa.
5. dimensi psikologis
dalam suatu opini mempunyai peranan penting dalam hal pengarahan, imtensitas
keluasan dan kedalaman;
IV. ANALISA KELOMPOK
Media massa sebagai saluran pilar keempat demokrasi tentu saja merasa
memiliki tanggungjawab untuk menyalurkan apa yang dikehendaki rakyat. Menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, media pun intens memberitakan
konflik ini. Media massa sendiri menjadi
objek pengendalian sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Jadi pengawasan
sosial yang berlangsung sifatnya adalah timbal balik antara media massa
dengan masyarakat itu sendiri.
Pada dasarnya, efektivitas yang dihasilkan dari fungsi
ini (kontrol sosial) bergantung pada integritas media itu sendiri. Selain itu,
juga bergantung pada tingkat kepercayaan publik terhadap media yang
bersangkutan. Untuk itu, sebagai pranata sosial yang menjadi corong informasi
utama masyarakat, media pun harus memerhatikan integritasnya sendiri.
Sikap keberpihakan media massa
dalam kasus konflik negara kita dan negara sebelah itu berlandaskan atas
ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah atas kasus ini. Sebagaimana kasus yang
telah dicontohkan di atas, media ramai memberitakan bagaimana pemerintah
terkesan lembek menyikapi soal ini. Banyak pakar politik yang menganggap pidato
presiden tidak mencerminkan arah yang jelas tentang bagaimana konflik ini bisa
dimuarakan.
Pemerintahan SBY mengedepankan jalur diplomasi untuk berdamai. Diplomasi
adalah seni dan praktek bernegosiasi oleh seseorang
(disebut diplomat) yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi.[5]
Sayangnya, jalur diplomasi yang ditempuh dinilai tidak menghasilkan sesuatu
yang signifikan. Pemerintah tidak berani memutuskan hubungan diplomatik dengan
Malaysia seperti yang pernah Soekarno lakukan. Pemutusan hubungan diplomatik
ini bisa saja menjadi teguran keras terhadap Malaysia. ketidakberanian
keputusan ini diambil, menurut SBY dalam pidatonya lalu secara eksplisit karena
ketergantungan dalam banyak bidang, terutama bidang ekonomi.
Padahal, bila dilihat saja dari masalah TKI, Malaysia akan kelimpungan bila
kehilangan para pekerjanya. Jumlah TKI di Malaysia tercatat mencapai 1,8 juta
orang. Ini merupakan tantangan baru bagi pemerintah untuk memajukan SDM rakyat
Indonesia yang mandiri. Selain itu, sengketa wilayah perbatasan yang menjadi
hal sensitif pun perlu ditegaskan. Perlu dilakukan pembahasan khusus mengenai
batas wilayah. Pemerintah pun harus mampu membela setiap jengkal tanah kesatuan
bangsa ini.
Media massa dengan fungsinya sebagai pemberi informasi memberitakan konflik
ini secara terus menerus dan lebih intens. Melalui fungsinya sebagai kontrol
sosial pun media menyalurkan opininya lewat berbagai editorial yang pada
akhirnya membentuk suatu konsensus yang diterima pula oleh publik.
Opini publik inilah yang kemudian menggiring gagasan-gagasan mendesak
pemerintah untuk segera bertindak tegas. Seperti apa yang telah dikatakan pada
hukum opini publik di atas, bahwa opini yang sudah menyinggung suatu
kepentingan dari individu itu sendiri sulit untuk diubah. Kasus ini menyeret
semangat nasionalisme publik untuk mempertahankan kedaulatan bangsa. Saat opini
publik ini terus meluas, pemerintah pun harus mau bertindak cepat menyelesaikan
konflik. Jika tidak, maka ketidakpuasan yang berujung pada ketidakpercayaan
pemerintah akan segera terjadi.
Atas dasar ketidaktegasan itulah, kelompok kami menyatakan bahwa media
massa berpihak untuk membentuk opini publik yang merupakan kesatuan atas opini
rakyat ini terhadap Malaysia. Tujuan media massa tidak lain adalah untuk terus
mendesak ketegasan sikap agar tidak selalu dianggap kecil oleh Malaysia.
V. Kelemahan Teori Korelasi
Kekuatan
korelasi yang jauh lebih mudah untuk dilakukan daripada lebih penelitian
eksperimental ketat karena Anda tidak memiliki kelompok kontrol dan variabel
independen untuk memanipulasi. Kelemahan utama adalah bahwa semua menunjukkan korelasi adalah
hubungan, atau kurangnya hubungan, antara dua variabel. Jika Anda mencoba untuk menentukan
sebab dan akibat Anda tidak dapat melakukannya dengan penelitian korelasi
karena Anda tidak tahu mana variabel mendahului yang lain dalam waktu. Selain itu, dua variabel dapat
tampaknya berkorelasi tetapi, ketika variabel lain dicatat, korelasi tampak
menghilang.Sebagai contoh, ketika es krim penjualan meningkatkan pembunuhan
juga meningkat.Apakah ini menyiratkan hubungan antara penjualan es krim dan
pembunuhan? Ketika variabel lain, panas, dicatat, korelasi antara es krim dan
pembunuhan menghilang.Logikanya, akan lebih masuk akal bahwa, dengan
meningkatnya panas, es krim dan meningkatkan penjualan jumlah kenaikan kasus
pembunuhan. Panas, kemudian, account yang lebih baik untuk peningkatan
penjualan es krim dan dalam jumlah pembunuhan. Fenomena ini disebut korelasi
palsu dan selalu berbahaya ketika melakukan penelitian korelasional.
VI. PENUTUP
Kasus konflik Indonesia-Malaysia yang sudah
terjadi sejak tahun 1960-an ini tentu saja tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya,
kedua Negara merupakan Negara serumpun yang sangat dekat, baik dari kondisi
demografis maupun geografisnya. Perlu tindakan tegas dari kedua aparatur
pemerintahan atas hal tersebut.
Sebagai Negara demokratis, rakyat Indonesia jelas memiliki hak untuk berpendapat yang juga
sudah tertulis pada undang-undang. Pendapat/opini setiap individu terhadap
konflik ini kemudian membumbung menjadi isu besar dan membentuk opini publik.
Opini publik ini tidak lepas dari peran media massa
dalam mengemas isu besar ini ke khalayak
Dengan perannya sebagi control sosial, maka
media pun pantas untuk ikut berpartisipasi mengajak publik mendesak ketegasan
dari pemerintah terkai kasus tersebut. Maka, diharapkan pemerintah pun memiliki
bahasan khusus tentang penyelesaian kasus ini. Tidak harus selalu berujung pada
konfrontasi dan peperangan, namun bisa dengan jalan diplomasi yang tegas dan
tanpa rasa takut. Karena pada hakikatnya, bangsa ini lebih besar dari Malaysia dalam banyak hal.
REFERENSI
Mc. Quail, Dennis. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. 1996.
Jakarta
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik
: Khalayak dan Efek. 2006. Bandung : Remaja Rosdakarya
Olii, Helena. Opini Publik. 2007.
Jakarta : Indeks
Severin, Werner J. “Teori Komunikasi:Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam
Media Massa”. 2008. Jakarta: Prenada Media
Media Massa”. 2008. Jakarta: Prenada Media
Soemirat, Betty dan Eddy
Yehuda. Opini Publik Cetakan ke 5. 2007. Jakarta : Universitas Terbuka
Usman, Syafaruddin dan Isnawita Din. Ancaman Negeri Jiran : Dari
”Ganyang Malaysia” Sampai Konflik Ambalat. 2009. Yoyakarta: Media Pressindo
Internet :
http://www.wikipedia.com , diakses pada tanggal 16 Oktober 2010
http://www.antaranews.com,
diakses pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2010
http://www.detiknews.com,
diakses pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2010
http://www.kompas.com, diakses pada
tanggal 15 dan 16 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar