Minggu, 09 Desember 2012

TEORI DASAR KOMUNIKASI POLITIK PERSPEKTIF RETORIKA



PENDAHULUAN
Kehidupan manusia jelas tak lepas dari retorika, dari keseharian individu sampai kehidupan sosial yang kompleks. Soalnya adalah.. retorika seperti apakah yang patut dikembangkan sehingga mencerahkan kehidupan bersama. Dalam Modern rhetorical Criticism (1977), Roderick P. Hart melukiskan ‘alam pikiran retorika’ yang dipandangnya sehat. Suatu retorika yang baik, katanya, harus memadukan empat aspek. Pertama, scientifically demonstrable; harfiahnya suatu tuturan harus bisa dibuktikan secara ilmiah atau berdasarkan fakta.
Kedua, artistically creative; terutama berasosiasi dengan pemanfaatan retorika secara particular, yakni dalam pengucapan seni. Dalam berbahasa sehari-hari tentu tidak perlu berbunga-bunga, yang penting jelas dan santun. Ketiga, philosophically reasonable; memperhatikan moral dan etika dalam bertutur untuk membedakan baik dan buruk, manfaat dan mudarat, berkah dan mubazir. Akhirnya, keempat, socially concerned; suatu retorika, apalagi yang terbuka untuk umum, haruslah bertemali dan bermanfaat memecahkan masalah orang banyak sehingga mensejahterakan kehidupan bersama lahir-batin.
Teori ilmu politik adalah sebagian besar cabang yang perlu untuk dipelajari dalam dunia perpolitikan, teori ini menyangkut kupasan yang dasar terhadap ilmu politik, mulai dari asal- mulanya, evolusi, sifat dasar, tujuan atau maksud, fungsi, organisasi politik dan sebagainya.
Melalui teori ini bukan saja mengupas hal yang diatas belaka, tetapi juga mencoba menelusuri berbagai aspek hukum secara umum untuk ditetapkan didalam negara. Sedangkan filsafat ilmu politik menjadi bagian dari teori, setiap aksi perpolitikan sering menunjukkan beberapa pokok nilai terhadap teori ilmu politik, oleh karena itu, prinsip- prinsip yang diutamakan oleh para ilmuwan, aktivis politik harus memiliki nilai yang positif bagi masyarakat dan negara.
Disisi lain sejarah, ilmu politik juga termasuk dalam daftar pencetus ilmu retorika dari berbagai negara, para ilmuwan politik yang hidup 2500 tahun yang silam, telah menyusun unsur- unsur, tujuan, organisasi dan permasalahan didalam negara. Para ilmuwan politik seperti: Plato, Aristotle, kautiliya, Machievelli, Hobbes, Rousseau, Hegel, Marx, Lenin dan Gandhi, telah memberikan jalan yang baik di dalam bernegara. Para ilmuwan tersebut memiliki pandangan yang berbeda tentang politik, tetapi jika ditinjau dari segi tujuan mereka terkesan sama. Setiap individu ilmuwan tersebut menginginkan agar masyarakat bersatu didalam satu negara.
Komunikasi Politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara "yang memerintah" dan "yang diperintah". Menurut Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik.
Terlepas dari uraian di atas, politik akan berjalan lancar sesuai harapan apabila unsur-unsur politik dan trik politik dijalankkan secara menyeluruh (kaffah). Diantara unsur berpolitik adalah retorika politik. Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami (Talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan fikiran yang jelas dan tampa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat akan memberikan ketepatan hasil juga. Disamping itu, dengan retorika yang baik mampu mempengaruhi khalayak banyak tanpa perlu adanya penjelasan lebih lanjut yang dimana hal tersebut mampu menguras lebih banyak energi.
Selain itu, untuk menjadi seorang orator yang memiliki gaya retorika yang baik dan benar serta mampu mempengaruhi khalayak, perlu dilatih (riyadhah) dan di biasakan dalam menguasai ilmu tersebut. Sesuai dengan ungkapan yang berbunyi “Ala Bisa karena biasa”.

LANDASAN TEORI
1. Pengertian dan Sejarah Singkat Retorika
Retorika (dari bahasa Yunani ήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan di atas) dan praktik kontemporer dari retorika yang termasuk analisis atas teks tertulis dan visual.
Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami (Talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan fikiran yang jelas dan tampa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat , daya kreasi dan fantasi yang tinggi ,teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Ber-retorika juga harus dapat dipertanggung jawabakan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu pembicaraan setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya kepada manusia lain.
Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, fikiran , kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata – kata yang tepat, benar dan mengesankan . ini berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif . jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran ; dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek ? dalam konteks ini sebuah pepatah cina mengatakan ,”orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara ini dapat dicapai dengan mencontoh para rektor atau tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan mempergunakan hukum – hukum retorika dan dengan melakukan latihan yang teratur. dalam seni berbicara dituntut juga penguasaan bahan dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa.
Dalam buku Theories of Human Communication karangan Little John, dikatakan bahwa studi retorika sesungguhnya adalah bagian dari disiplin ilmu komunikasi. Mengapa? karena di dalam retorika terdapat penggunaan simbol-simbol yang dilakukan oleh manusia. Karena itu Retorika berhubungan erat dengan komunikasi Persuasi. Sehingga dikatakan retorika adalah suatu seni dari mengkonstruksikan argumen dan pembuatan pidato. Little John mengatakan retorika adalah ” adjusting ideas to people and people to ideas”.
Dalam doktrin retorika Aristotele terdapat tiga teknis alat persuasi politik yaitu:
1. Deliberatif,
Memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang.
2. Forensik
Lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran.
3. Demonstratif.
memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau penistaan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Namun, selain tiga jenis di atas, aristoteles juga mengenalkan retorita dengan nama retorika Sofis. Tradisi retoris dimulai dari retorika sofis pada masa Yunani Kuno pada akhir abad ke-5 SM. Digalakkan oleh Protagoras, Gorgias, dan Isokrates, retorika sofis mengajarkan keterampilan berbahasa [terutama berpidato] di depan publik dengan maksud untuk memenangkan tujuan politik tertentu melalui tuturan [lisan]. Intinya, retorika merupakan kelihaian berbahasa dalam memainkan ulasan mengenai konteks tertentu untuk mencapai tujuan politik. Retorika sofis terlalu mementingkan pencapaian tujuan tanpa mengutamakan kebenaran sehingga tereduksi dalam cara-cara debat kusir atau bersilat lidah. Retorika jenis ini seringkali muncul dalam debat-debat politik, iklan, propaganda, pernyataan politik, maupun kampanye partai.
Namun, Plato mengecam retorika sofis sebagai suatu upaya manipulasi opini publik dan mengabaikan kaidah-kaidah pencapaian kebenaran. Retorika sofis tidak menjadikan kebenaran sebagai sarana untuk membentuk opini public melainkan mereduksinya sekedar kecakapan bahasa untuk memenangkan tujuan politik. Di sisi lain, Aristoteles jua menganggap bahwa retorika sofis tidak mampu membangun suatu peradaban manusia yang beradab karena mengabaikan nilai-nilai kebenaran tersebut. Melalui Rhetoric, Aristoteles bermaksud untuk mengendalikan hakikat retorika sebagai sebuah kecakapan [kekuatan] berbahasa sebagai sarana persuasif untuk memecahkan masalah secara objektif, sistematis, dan alternatif. Retorika Aristotelian adalah dalam mana suatu persoalan menjadi wacana kritis, suatu habits of techne untuk memandu publik mengutamakan kebenaran untuk mencapai tujuan politiknya. Output-nya adalah tercipta masyarakat yang beradab dalam arti yang sebenarnya yaitu masyarakat yang cinta kebenaran dalam hidupnya.
Retorika mulai dikenal pada tahun 465 SM, ketika Corax menulis makalah bejudul Techne Lagon (Seni kata-kata). Pada waktu itu seni berbicara atau llmu berbicara hanya digunakan untuk membela diri dan mempengaruhi orang lain. Membela diri di pengadilan ketika orang lain mengambil tanah atau mengakui tanahnya karena waktu itu belum ada sertifikat tanah. Membela diri ketika seseorang, katakanlah orang kaya raya dituduh mengorbankan kehormatannya dengan hanya mencari setandan pisang di kebun dan sebagainya. Singkat kata retorika atau ilmu komunikasi pada waktu itu hanya digunakan untuk membela diri yang berhubungan dengan kepentingan sesaat dan praktis.
Sementara untuk mempengaruhi orang lain, menurut Aristoteles ada 3 cara yaitu :
      Harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa kita memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya dan status yang terhormat yang disebut “ethos”
      Harus dapat menyentuh hati khalayak, perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang yang disebut “phatos”
      Meyakinkan khalayak dengan bukti yang kelihatan, yang disebur “logos”
      Dari sejarah singkat perkembangan retorika atau ilmu komunikasi klasik yang patut kita catat yakni mengenai tahap penyusunan pidato karya Aristoteles yang sampai sekarang masih terus dipakai, adalah penentuan tema, penyusunan, gaya, memori dan penyampaian.
2.  Tujuan Retorika
Tujuan retorika adalah persuasi, yang dimaksudkan dalam persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya pendengar akan kebenaran gagasan hal yang dibicarakan pembicara. Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur.
3.  Fungsi Retorika
Membimbing penutur mengambil keputusan yang tepat. Membimbing penutur secara lebih baik memahami masalah kejiwaan manusia pada umumnya dan kejiwaan penanggap tutur yang akan dan sedang dihadapi. Membimbing penutur menemukan ulasan yang baik. Membimbing penutur mempertahankan diri serta mempertahankan kebenaran dengan alasan yang masuk akal.
4. Metode Retorika
a. Exordium (pendahuluan)
Fungsinya pengantar kearah pokok persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya menyiapkan mental para hadirin (mental prepation) dan membangkitkan perhatian (attention arousing).
Berbagai cara dapat ditampilakan untuk memikat perhatian hadirin.
-  Mengemukakan kutipan (ayat kitab suci, pendapat ahli kenamaan, dll)
-  Mengajukan pertanyaan
-  Menyajikan ilustrasi yang spesifik
-  Memberikan fakta yang mengejutkan
-  Menyajikan hal yang bersifat manusia
-  Mengetengahkan pengalaman yang ganjil
Beberapa hal yang perlu dihindari dalam retorika, antara lain:
-   Permintaan maaf karena kurang persiapan, tidak menguasai materi, tidak pengalaman dll.
-   Menyajikan sebuah lelucon yang berlebihan.
b. Protesis (latar belakang)
Mengemukakan hakekat pokok persoalan tersebut secara factual atau secara kesejahteraan nilainya serta fungsinya dalam kehidupan. Jadi pembahasan ini dikemukakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas kaitannya dengan kepentingan pendengar.
c. Argumentasi (isi)
Memberikan ulasan-ulasan tentang topic yang akan disajikan secara teoritis, kemudian mengemukakan kekuatan posisinya.
d.Conclusio (kesimpulan)
Suatu penegasan hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi atau pembenaran menurut penalaran orator atau pembawa naskah.
Yang perlu dihindari dalam pembuatan kesimpulan adalah:
-   Mengemukakan fakta baru
-   Mengemukakan kata-kata mubazir dan tidak fungsional
Dua persyaratan mutlak bagi orang yang akan muncul sebagai orator:
-    Source credibility atau sumber yang terpercaya (ahli dibidangnya)
-    Source actractivinees atau daya tarik sumber artinya memiliki penampilan yang meyakinkan untuk tampil sebagai orator.
5. Etika Retorika
·  Memperhatikan kondisi keadaan tertentu, hal ini memerlukan keputusan yang bijaksana, humanistis dan etis social.
·  Memperhatikan standar benar tidaknya ditentukan hukum
·  Memperhatikan etika nilai adat istiadat atau tata nilai kesopanan yang berlaku dimasyarakat.
·  Memperhatikan alasan logis atau fakta yang ada
·  Memiliki kekuatan dalil atau nash.
6. Syarat-syarat Retorika
1. Membuat uraian-uraian yang lengkat, mengkaji atas masalah kesimpulan dans aran-saran.
2. Uraiannya tegas dan konsisten dalam arti tidak mau memungkinkan timbulnyapertanyaan-pertanyaan atau tafsiran-tafsiran yang keliru.
3. Uraian harus jelas, cermat dan sederhana pernyataan-pernyataan harus dalambahasa yang jelas agar mempermudah pengertian dan keyakinan, serta tidakmenimbulkan perbedaan tafsiran.


 ANALISIS KASUS
Bahwa Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat dijamin konstitusi dan sangat diperlukan dalam kehidupan berdemokrasi jelas tak perlu dipersalahkan. Namun bagaimana hak angket tersebut dilaksanakan tampaknya merupakan permasalahan tersendiri. Majalah ini menengarai ada persoalan etika pada sejumlah anggota Panitia Khusus DPR tentang Bank Century dalam upaya mengorek keterangan dari para saksi yang sebagian diantaranya merupakan pejabat Negara. “Ketidaksopanan dalam mengajukan pertanyaan –baik retorika, bahasa tubuh, maupun bahasa ucap- sudah memprihatinkan” (Tempo, 18-24 Januari 2010). Catatan ini penting karena perilaku minus sebagian anggota panitia khusus itu bisa mencederai tujuan mulia ‘mencari kebenaran’ yang hendak mereka gapai.
Kejadian diatas mencerminkan betapa masih rendahnya mental dan etika para “anggota” dalam berucap dan mengeluarkann pendapat. Hal tersebut diatas dikarenakan tidak jauh dari keterbatasan mereka dalam mengetahui dan menguasai serta memahami ilmu retorika, terutama retorika politik.
Mungkin, penulis akan sedikit memberikan maklum kepada anggota tersebut apabila tatkala mereka melakukan tindakan atau pun berbicara yang jauh dari etika beretorika, adalah merupakan semangat dalam memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, bukan individu, golongan atau pun partai. Namun kenyataannya, hal tersebut hanya “mimpi” disiang bolong. 
Sampai detik ini, lembaga terhormat tersebut masih terus dipergunjingkan karena ulah mereka sendiri yang tak jauh dari sebutan atau kelakuan anak TK. Berbicara tanpa etika, berkoar tanpa dasar, berorator dengan janji yang semakin kotor dan beretorika tanpa ilmu pengetahuan di dalamnya. 

PEMBAHASAN
“Repertoar’ yang digelar Panitia Khusus DPR tersebut menggugah imajinasi tentang praktek retorika dalam tradisinya yang paling purba –yakni retorika Sofis pada masa Yunani Kuno menjelang akhir abad ke-5 sebelum masehi. Digalakkan para filsuf seperti Gorgias, Protagoras, dan Isocrates, retorika Sofis mengajarkan keterampilan berbahasa –terutama berpidato- di depan publik. Inti ajarannya adalah memenangkan suatu kasus atau tujuan politik tertentu melalui tuturan (lisan). Karena itu, penutur dituntut fasih berbahasa, lihai memainkan ulasan, dan piawai mengocok emosi lawan. Bukan hal aneh jika retorika Sofis mengarah pada cara-cara berdebat kusir, berpokrol bambu, atau bersilat lidah.
Hingga kini, retorika sofis tetap aktual dalam pentas politik dan juga ekonomi. Pidato kampanye, pernyataan politik, propaganda, dan iklan adalah contoh potensial wujud nyata retorika lawas itu. Celakanya, tak jarang tergelincir jadi ‘omong kosong’. Sekian abad lampau, ketika menulis Gorgias (terbit pertama kali pada 463), Plato mengecam retorika gaya Sofis sebagai doxa atau manipulasi opini publik, mengabaikan episteme, dan hanya dimanfaatkan warga polis yang kaya raya (lihat James A. Herrick, The History and Theory of Rhetoric, 2005).
Bagi Aristoteles, retorika Sofis terlalu sempit untuk membangun peradaban yang lebih luas. Melalui Rhetoric (1355), ia mengembalikan martabat retorika sebagai kecakapan (dunamis, daya, kekuatan) menemukan sarana persuasif yang obyektif untuk memecahkan masalah’. Dengan kata kunci menemukan, retorika Aristotelian –lisan ataupun tulisan- menjadi wacana kritis, bukan sekadar mencari kemenangan. Pertanyaan pentingnya adalah apa arti suatu kemenangan bila mengabaikan kebenaran, betapapun terbatasnya kebenaran itu. Retorika, menurut Aristoteles, adalah techne yang membiasakan orang membeberkan kebenaran. Fungsinya dikembangkan untuk memandu orang mengambil alternatif pemecahan masalah, menganalisis kasus secara sistematis dan obyektif sehingga meyakinkan public, dan mengajarkan cara efektif mempertahankan gagasan atau argumen.
Tak diragukan, Aristoteles telah meletakkan dasar retorika sebagai bahasa ilmu pengetahuan sekaligus sebagai kajian ilmiah. Meski demikian, kata kunci kebenaran yang dia sodorkan menimbulkan pertanyaan: untuk apa kebenaran itu. Kebenaran demi kebenaran semata, sama halnya dengan kebebasan untuk kebebasan belaka, bukannya tanpa bahaya. Kebenaran ilmiah sekalipun jika niretika akan melahirkan petaka.
Pada awal abad ke-20, muncul pemikiran ‘Retorika baru,’ antara lain dari filsuf Perelman dan Olbrechts-Tyteca di Eropa dan penganut Aliran General Semantics di Amerika Serikat. Bertolak dari pertanyaan terhadap retorika Aristotelian, para penganut ‘Retorika baru’ menekankan dua hal. Pertama, faktor khalayak sebagai titik pusat arah tuturan. Suatu retorika harus dibangun dengan memperhitungkan cermat aspek psikologis dan lingkungan sosial-budaya. Kedua, selain persuasif, suatu retorika harus bisa menumbuhkan kerja sama, saling mengerti, dan kedamaian manusia, dan sebaliknya menghindari kesalahpahaman serta berbagai bentuk kepincangan komunikasi lain.
Kehidupan manusia jelas tak lepas dari retorika, dari keseharian individual sampai kehidupan sosial yang kompleks. Soalnya adalah retorika seperti apakah yang patut dikembangkan sehingga mencerahkan kehidupan bersama. Dalam Modern rhetorical Criticism (1977), Roderick P. Hart melukiskan ‘alam pikiran retorika’ yang dipandangnya sehat. Suatu retorika yang baik, katanya, harus memadukan empat aspek. Pertama, scientifically demonstrable; harfiahnya suatu tuturan harus bisa dibuktikan secara ilmiah atau berdasarkan fakta.
Kedua, artistically creative; terutama berasosiasi dengan pemanfaatan retorika secara particular, yakni dalam pengucapan seni. Dalam berbahasa sehari-hari tentu tidak perlu berbunga-bunga, yang penting jelas dan santun. Ketiga, philosophically reasonable; memperhatikan moral dan etika dalam bertutur untuk membedakan baik dan buruk, manfaat dan mudarat, berkah dan mubazir. Akhirnya, keempat, socially concerned; suatu retorika, apalagi yang terbuka untuk umum, haruslah bertemali dan bermanfaat memecahkan masalah orang banyak sehingga menyejahterakan kehidupan bersama lahir-batin.
“Bagaimana kita melakukan sebuah kegiatan komunikasi politik, dan bagaimana komunikasi yang kita sampaikan tersebut mempunyai implikasi politik, dan lalu bagaimana kita mempraktekkannya sebagai sebuah kegiatan persuasi” (Mas Joko)
Uraian diatas kiranya dapat memberikan sedikit jawaban tentang apa yang menjadi pertanyaan Mas Joko (Salah seorang Penulis artikel) di website. Dengan demikian, bahwa retorita merupakan salah satu unsure penting dalam melakukan aktivitas politik guna mendapatkan hasil yang maksimal dan sesuai dengan harapan.

PENUTUP DAN KESIMPULAN
1. Kesimpulan
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres­tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan: Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian. Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.
2. Penutup
Seperti ungkapan mengatakan “Baik dan buruknya seseorang terkadang terlihat dari cara ia berbicara/ beretorika”. Berangkat dari ungkapan tersebut, dan kasus-kasus yang terjadi di beberapa tempat terutama lembaga kehormatan rakyat, penulis memberikan hipotesa bahwa ilmu retorika terutama dalam politik merupakan salah satu kunci yang juga tak kalah penting andilnya, dalam kelancaran mencapai tujuan perpolitikan yang ada.
Akan tetapi, lagi-lagi dalam berorator, retorika yang baik dan benar harus ditempatkan di jajaran paling depan. Hal ini dikarenakan, retorika sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan seseorang dalam menyampaikan pesan.
Terlepas dari itu semua, penulis menginsafi bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masihlah jauh dari kata sempurna. Untuk itu, saran dan kritik yang konstruktif, inovatif dan edukatif sangatlah penulis harapkan demi kebaikan penulisan dimasa mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Amin
DAFTAR PUSTAKA

Pandi, Muchlisin. Blogspot.com/2010/04/Retorika.
Rahardi,Kunjana. 2006 Dimensi-dimensi Kebahasaan. Yogyakarta :PT. Gelora Aksara.
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Mas’oed Mukhtar, dan Andrew Mac Collin, 2000, Perbandingan Sistem Politik,Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Carlton Clymer, 2000, Pengantar Ilmu Politik, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Harmonis, Dr. Fal., M.Si, Makalah dan Jurnal Perkuliahan Komunikasi Politik, UMJ, 2012
Dan nimo, Komunikasi Politik, 2005, Rosydakarya, Bandung. Cet-VI

Internet :
http://alumnihmm.blogspot.com/2008/04/pengertian-retorika.html
www. Google.com
Wikipedia

Surat Kabar :
Tempo, 28 Februari 2010
Kompas, 20  Agustus 2010

1 komentar: