Kamis, 03 Januari 2013

SKANDAL BUPATI GARUT ACENG FIKRI Langgar PP No6/2005 dan UU Perkawinan

Oleh : Luthfy Rijalul Fikri 
 1. Latar Belakang
 Bagaimana bisa seorang pejabat publik mampu memimpin dengan baik sedangkan dia telah melakukan kekerasan psikologis tidak hanya kepada perempuan yang rentan sebagai korban tetapi juga anak-anaknya? Bupati Garut, HM Aceng Fikri secara serta merta menjadi selebriti dadakan hampir dua pekan ini. Tak hanya masuk sebagai headline koran lokal, orang nomor 1 di Garut ini menjadi sorotan media nasional dan tayangan infotainment, bahkan media internasional. Pernikahan sirrinya yang dilakukan dengan Fany Octora menjadi sorotan lantaran dilakukan selama 4 hari dan diakhiri dengan perceraian singkat berupa pesan BBM. Setelah kasusnya dianggap selesai dengan islahnya Aceng dengan Fany, lalu mucul lagi perempuan yang mengaku pernah dinikahi Bupati Aceng yakni Shinta Puspitasari namun dalam rentang waktu yang lebih lama dan melalui pernikahan resmi yang diakui negara.
Boleh dikatakan Aceng Fikri sedang 'apes' sehingga kehidupan pribadinya terkuak ke permukaan. Kasus poligami para pejabat ibarat gunung es yang menampakkan sedikit kasus dari sekian banyak kasus yang belum terungkap. Adalah rahasia umum jika para pejabat publik sangat identik dengan banyaknya perempuan yang dia miliki, baik itu secara legal ataupun tidak. Aceng fikri mungkin saja bisa berkelit jika yang dilakukannya tidaklah menyalahi ketentuan agama, lantas membangun retorika jika kasus yang menimpanya hanya persinggungan politik. Namun barangkali Aceng ataupun kita seringkali alpa jika opini publik memberikan kewajaran saat Pejabat Publik memiliki istri banyak, maka dengan sendiri¬nya kita termasuk dari bagian kejahatan yang melanggengkan penindasan dan kekerasan terhadap perempuan. Praktik poligami yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan tinggi dan berpengaruh kuat, seringkali diterima oleh masya¬rakat kita sebagai kewajaran. Implikasinya adalah saat pe¬rempuan ditalak dengan sewenang-wenang, maka si perempuan dinggap ikut bersalah dan tidak memiliki posisi kuat dalam pandangan hukum kita. (Nisa Khoerunisa, Sekretaris STIKes Respati Tasikmalaya dalam Kabar Priangan.com. Edisi Thursday, 20 Dec 2012 | 09:34:50 WIB) 
Sistem dan Kultur Keberadaan hukum negara dan hukum agama seringkali tidak seiring sejalan. Semangat kehidupan yang adil dan ramah terhadap perempuan masih terbentur pada keberadaan produk hukum yang berlaku di negara kita. Legitimasi hukum yang mengatur perkawinan masih mengacu pada UU Perkawinan No 1 tahun 1974 yang merupakan hasil perumusan dan pergumulan politik kelompok kepentingan yang ada pada masa itu. Pertentangan antara kaum agamawan dengan ke¬lompok perempuan mengenai isi dari undang-undang yang menjadi polemik salah satunya menyoal poligami. Isu poligami bukanlah hal baru mengingat pernah menjadi polemik diantara pergerakan emansipasi perempuan sampai ke tingkatan parlemen pada awal terbentuknya sejarah Undang-Undang Perkawinan. Persoalan poligami pertama kali dibahas secara serius pada Kongres Perempuan pertama pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, dimana persoalan perempuan lain seperti perdagangan anak/trafficking dan pendidikan juga ikut dibahas. Kontroversial isu poligami semakin memuncak pada kongres perempuan ketiga dimana perpecahan terjadi di antara kelompok perempuan dan semakin mencuat saat Presiden Soekarno melakukan pernikahan lagi. Meskipun pada akhirnya UU perkawinan No 1 tahun 1974 membolehkan laki-laki berpoligami dengan syarat berlapis. Rupanya, pengaturan untuk poligami ini telah melahirkan beberapa ketentuan lain yaitu dengan keluarnya peraturan pemerintah Nomor 45 tahun 1990 yang mengatur praktik poligami bagi PNS maupun pejabat pemerintah. Pada kenyataannya, banyak¬nya aturan yang memperketat praktek poligami ternyata tidak menyurutkan pejabat publik untuk memiliki istri banyak. Dengan alasan 'untuk menghindari perzinahan', poligami melalui kawin sirri dijadikan sebagai jalan solusi. Bahkan, ketika isu pembahasan poligami diusulkan ke dalam kode etik Dewan pada tahun 2010 silam, hal ini tidak mendapatkan respon positif dari anggota dewan dengan alasan poligami adalah wilayah keyakinan privat yang tidak patut diganggu gugat. Padahal, poligami adalah wilayah yang tidak bisa dipisahkan dari ruang privat dan publik karena seorang pejabat publik harus memberikan teladan yang baik kepada pengikutnya. Menteri pun Angkat Suara Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengungkapkan Bupati Garut Aceng HM Fikri melanggar pasal 27 F dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Tegas Mendagri, Aceng selaku Bupati harusnya wajib memelihara etika sebagai kepala daerah dalam menjalankan pemerintahannya. "Bupati itu wajib memelihara etika dalam menyelenggarakan pemerintahan. Itu di pasal 27 F. pasal 29. Bagi kepala daerah yang tidak melaksanakan etika pemerintahan, dapat diberhentikan. Itu diatur dalam PP 6/2005," ungkap Gamawan kepada wartawan, di kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin (3/12/2012).
 Sebagai pribadi pun, Mendagri tidak dapat menerima sikap Bupati Aceng yang tidak memberikan tauladan yang baik kepada masyarakat. Selain itu, Bupati Garut itu juga menurutnya, tidak patuh dan taat kepada peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan nomor 1 tahun 1974. Tepatnya pada pasal 2 ayat 2, yakni setiap perkawinan harus dicatatkan. "Mestinya beliau memberi contoh yang baik kepada publik. Beliau adalah figur, orang nomor satu, pemimpin Garut. Kenapa saya katakan harus patuh dan taat pada peraturan perundang-undangan? Karena dalam UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2, setiap perkawinan harus dicatatkan. Berarti bagi yang tidak mencatatkan tidak taat pada UU," kesalnya. "Dalam sumpah janji, kepala daerah wajib taat pada peraturan perundang-undangan," tegas dia. Sebagaimana diketahui, Bupati Garut Aceng HM Fikri akhir-akhir ini menjadi pembicaraan publik dan isu utama di beberapa media massa terkait kabar perceraiannya dengan Fani Oktora, wanita berusia 18 tahun yang dinikahi Aceng secara siri pada Juli 2012. Sebelumnya, Bupati Garut Aceng Fikri bersikeras tidak menyalahi aturan saat menikah siri dengan FO, gadis berusia 19 tahun asal Limbangan, Kabupaten Garut. Ia justru menganggap kasus ini sengaja diembuskan lawan politik guna mencemarkan nama baiknya. "Masalah ini sudah diselesaikan secara kekeluargaan sejak 16 Agustus 2012 dengan surat kesepakatan di atas meterai, dengan kompensasi nominal tertentu. Mungkin ada pihak yang mau menghancurkan nama baik saya jelang Pemilihan Bupati Garut 2013 nanti," kata Aceng saat melakukan jumpa pers di Garut, Rabu (28/11/2012). 
Sebelumnya tingkah Aceng Fikri menikahi dan menceraikan gadis di bawah umur dalam waktu empat hari, 16-19 Juli 2012, menuai protes. Sebagai kepala daerah, tindakannya dianggap tidak pantas dan melanggar aturan hukum. Ia dituduh melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena menikah dengan gadis di bawah umur dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia karena menjanjikan imbalan tertentu untuk mau dinikahi. Aceng sendiri saat ditanya wartawan tidak membenarkan atau menolak kabar tentang pernikahan. Ia hanya mengatakan masalah itu menjadi urusan pribadi yang tidak semua orang ia izinkan untuk mengetahuinya. "Saya siap memberikan penjelasan mengenai hal ini termasuk bila dipanggil Gubernur Jawa Barat," ujarnya saat dimintai pendapat bahwa Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan akan memanggilnya langsung untuk meminta klarifikasi mengenai hal ini. Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Garut Nitta Wijaya khawatir masalah ini memperburuk pemenuhan hak anak dan perempuan di Kabupaten Garut dan Indonesia. Nitta masih mengharapkan ada langkah khusus dari Pemprov Jabar atau Kementerian Dalam Negeri agar menyelesaikan hal ini. Tujuannya agar peristiwa serupa tidak terjadi di daerah lain. "Korban FO masih menderita trauma psikologis pascaperceraian itu," ujarnya. Argumen Penulis Mengangkat Kasus Berangkat dari beberapa ungkapan dan literatur di atas, penulis menilai bahwa kasus ini layak diangkat menjadi opini publik. Hal ini dikarenakan apa yang Aceng Fikri (Bupati Garut) lakukan melanggar UU dan Etika sebagai seorang pejabat daerah, serta keluar dari bingkai hak asasi manusia, dengan memperlakukan FO semena-mena dan sepihak tanpa alasan yang jelas dan logis. Untuk itu, dengan mengangkat kasus Aceng ini menjadi opini publik, penulis berharap hal ini dapat meminimalisir para pejabat dan penguasa serta para lelaki umumnya untuk melakukan apa yang Aceng telah kerjakan, serta lebih menghargai wanita sebagai sesama manusia yang mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama seperti halnya pria. Sejauh pengamatan penulis, seringkali, kritikan atas perilaku poligami para pejabat disalah artikan sebagai penyerangan terhadap wilayah agama. Padahal, untuk menafsirkan ayat yang membolehkan laki-laki untuk menikah dengan 2, 3 atau bahkan 4 perempuan sudah banyak direinterpretasi oleh para ulama yang lebih sensitif gender sebagai pesan keadilan bukan semata pembolehan menikahi banyak perempuan. Beranjak dari perbedaan cara pandang terhadap hukum poligami, penulis mengajak semua pihak untuk kemudian mau membuka hati dan tidak skeptis terhadap kondisi ini. Membiarkan para pejabat publik yang melakukan poligami semena-mena adalah pembiaran terhadap kejahatan terhadap perempuan yang berkedok agama.
 2. Tujuan dan Sasaran 
a. Tujuan 
1. Mencari alternatif pemecahan trerhadap suatu masalah yang sedang terjadi, sehingga mencegah masalah tersebut akan terjadi lagi. 
2. Munculnya beberapa alternatif memungkinkan terjadinya diskusi untuk memilih alternative. 
3. Dalam diskusi diambil keputusan yang melahirkan kesadaran individu, kelompok dan khalayak umum, bahwa apa yang telah dilakukan Aceng Fikri adalah perbuatan yang melanggar etika seorang pemimpin dan mendalili amal bukannya mengamalkan dalil.
 4. Untuk melaksanakan keputusan, disusunlah program yang memerlukan dukungan yang lebih luas. Dengan hal ini, maka akan ada sanksi sosial bagi siapa saja yang telah melakukannya, selain juga sanksi hukum. Diharapkan akan mencegah terjadinya kasus ini lagi. 
b. Sasaran
 Ada pun yang menjadi sasaran dalam opini publik ini adalah Aceng Fikri khususnya dan khalayak umum serta masyarakat pejabat pada umumnya. Dengan haraan bahwa setelah kasus ini mencuat dengan serba-serbi hukuman dan sanksi sosialnya, para pejabat atau siapa pun yang memiliki wewenang dan kekuatan di Negeri ini tidak semena-mena dalam memperlakukan wanita, anak-anak dan kaum lemah. 
3. Tema 
Ada pun tema besar yang digunakan dalam rangka mengangkat kasus Nikah Sirri Bupati Garut Aceng Fikri adalah “SKANDAL BUPATI GARUT ACENG FIKRI Langgar PP No6/2005 dan UU Perkawinan”. Selain itu, kasus ini akan dibumbui dengan berbagai analasis dan pendapat para tokoh serta pejabat lainnya. Sehingga akan menimbulkan kesan penting untuk terus di ikuti perkembangannya, sampai menemukan klimaks dari permasalahan tersebut. Dengan demikian, akan ada rasa kepenasaranan dari khlayak untuk terus mengikuti dan memberikan opini terhadap kasus tersebut, sehingga mencuat menjadi sebuah opini publik dengan kesamaan tujuan, yaitu mendapatkan jawaban terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani kasus tersebut.
 4. Strategi 
Rapat paripurna DPRD Garut mengagendakan temuan pansus membacakan hasil investigasinya terkait kasus nikah kilat yang dilakukan oleh Aceng Fikri. Pansus menilai bahwa Aceng Fikri bersalah karena telah melakukan nikah siri tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Suasana sidang paripurna tiba-tiba ricuh ketika Ketua DPRD Garut Ahmad Bajuri meminta agar rapat dilanjutkan besok hari dengan agenda penyampaian pandangan fraksi atas temuan pansus. Sontak saja, hal ini memancing emosi para pengunjuk rasa yang sedari tadi melihat jalannya yang tidak puas atas pernyataan pimpinan sidang. Namun keputusan sudah disepakati bahwa akan dilaksanakan sidang lanjutan. Sikap publik yang gencar sekali menyoroti kasus nikah kilat Aceng Fikri sebagaimana media massa juga sangat antusias untuk memberitakan kasus tersebut. Kasus ini memang begitu seksi sehingga berbagai opini muncul kepermukaan, baik dari kalangan masyarakat biasa, tokoh agama, kaum intelektual bahkan sampai presiden turut serta memberikan komentar agar kasus ini segera diselesaikan. Titik berat tulisan ini adalah perihal bagaimana peran opini publik terhadap kasus nikah kilat Aceng Fikri, terlebih menyoroti desakan-desakan melaluui aksi unjuk rasa yang mencapai klimaksnya terjadi pada hari rabu tanggal 19 Desember 2012. Di negara yang menganut sistem demokrasi, Opini Publik dianggap sebagai pilar keempat kekuasaan setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Seperti halnya di Indonesia yang menganut sistem trias politika dari Montesqueu, dimana terdapat badan-badan legislatif seperti MPR dan DPR, badan eksekutif seperti presiden dan badan yudikatif seperti Mahkamah Agung. Sebagai negara demokrasi, Opini Publik dapat menjadi pilar terpenting dalam kehidupan pemerintahan di Indonesia. Sebab, Opini Publik merupakan pendapat, sikap, ramalan, pendirian atau harapan rata-rata masyarakat, tentang suatu hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Opini publik memang tidak dapat dilepaskan dari sistem politik demokrasi. John Locke berpendapat bahwa, opini publik merupakan kelompok orang yang memberikan persetujuan atas suatu rencana undang-undang. Menurutnya, orang-orang ini sebenarnya tidak mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang, akan tetapi dengan diam-diam menyatakan persetujuannya atau penolakannya. Media massa memiliki peranan penting dalam mengembangkan opini publik sebagai kekuatan besar. Media massa dalam hal ini berfungsi sebagai sumber komunikasi politik yang ikut berpengaruh pada opini publik, dimana opini publik mempengaruhi apa yang dilakukan oleh pembuat kebijakan yakni pemerintah dengan menggunakan budaya politik. Seorang peneliti, mengatakan bahwa “barangkali pengaruh opini publik yang terbesar terhadap pembuatan keputusan pada pemerintah” ialah “dimilikinya budaya politik bersama oleh rakyat untuk memegang jabatan pemerintah”. Dalam mekanisme sistem demokrasi, publik merupakan penguasa, setiap keputusan-keputusan politik yang dihasilkan dan mengikat semua orang haruslah diketahui terlebih dahulu oleh publik. Publik tentunya akan merespon keputusan tersebut, apakah sesuai dengan aspirasi mereka atau tidak. Respon tersebut kemudian menjadi pedoman bagi para elit politik untuk memperbaiki keputusan yang mereka keluarkan, begitu seterusnya hingga publik akan menerima keputusan tersebut. Terhadap semua itu, tentunya medialah yang berperan sebagai sarana perantara dalam menginformasikan semua keputusan yang dihasilkan elit dan untuk mendapatkan respon dari publik, agar terjadi kesempurnaan atas keputusan tersebut. Oleh karena itu, strategi yang penulis gunakan dalam mengangkat kasus Aceng Fikri ini adalah Agenda Setting, dimana media massa yang lebih dominan dalam men-setting berita tersebut menjadi berita hangat konsumsi khalayak. 
Daftar Pustaka 
Panuju, Redi (2002), Relasi kuasa Negara media massa dan public (Pertarungan Memenangkan Opini Publik dan Peran dalam Transformasi Sosial), Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Sastropoetro, 
Santoso (1990). Pendapat Publik, Pendapat Umum dan Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Bandung, Remaja Rosdakarya. Susanto, Astri. (1975). Pendapat Umum. Bandung, Karya Nusantara. Hennessy, Bernard. (1990). Edisi keempat. Pendapat Umum. (terjemahan) Jakarta. Erlangga. Sunarjo, Djoenaesih S (1984) Opini Publik. Yogyakarta, Liberty 
 Nurudin, (2001) Komunikasi Propaganda, Bandung. Remaja Rosdakarya. 
 Internet : 
http://www.citizenjurnalism.com 
http://www.kabar24.com http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2243/1/skandal.pernikahan.bupati.garut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar