Minggu, 09 Desember 2012

CARA MEDIA MASSA MENGEMAS OPINI PUBLIK KASUS PERSELISIHAN INDONESI-MALAYSIA



Oleh :
Luthfy Rijalul Fikri
I. PENDAHULUAN
Ketegangan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia tidak dimulai baru-baru ini saja. Jargon “Ganyang Malaysia” sudah akrab di telinga bangsa kita sejak tahun 1963 lewat pidato Sang Proklamator, Soekarno. Pidato presiden tersebut menggetarkan setiap detak nasionalisme bangsa kala itu.
Bermula dari keinginan Inggris menyatukan wilayah Sabah dan Serawak sebagai bagian dari wilayah koloninya, Soekarno makin geram dengan aksi Anti-Indonesia. (Syafaruddin Usman: 28: 2009) Aksi tersebut berujung pada penginjakan lambang garuda oleh Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tunku Abdul Rahman. Tidak hanya itu, para demonstran...
pun merobek-robek foto Soekarno dan mengobrak-abrik kedubes RI di Malaysia.
Pada dasarnya, kondisi demografi Malaysia tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Malaysia dan Indonesia memiliki rumpun yang sama sehingga tak jarang, banyak kesamaan yang muncul dari kedua negara ini. Dari segi budaya, tak sedikit budaya kedua negara ini yang hampir serupa, seperti tarian, adat, atau bahkan ragam makanan. Maka tidak heran, hubungan kedua negara tetangga ini sering memanas.
Malaysia kerap kali berulah, begitu Indonesia menilainya. Pengklaiman ragam budaya Indonesia cukup membuat bangsa ini geram. Belum lagi masalah perbatasan teritorial yang sensitif dan kekerasan terhadap TKI di negeri johor itu yang akhirnya menyebut bangsa kita sebagai bangsa babu. Malaysia dan Indonesia menjadi tetangga yang tidak harmonis.
Kedua negara ini sama-sama tidak mau disalahkan. Di Malaysia, pemberitaan-pemberitaan yang dihadirkan adalah pemberitaan negatif seputar Indonesia. “Media hanya meliput berita negatif di Indonesia, ini yang membuat hubungan Indonesia dan Malaysia menjadi tidak harmonis,” ujar Anwar saat memberikan Stedium General Reformasi Politik dan Demokratisasi di Malaysia (Menuju Persahabatan Setara Malaysia-Indonesia) September lalu di Hotel Four Season Jakarta. Begitu pun media di Indonesia yang tak pernah berhenti memberitakan hubungan kedua negara yang selalu memanas.
Dengan latar belakang inilah, penulis mencoba merumuskan masalah, Mengapa ada keberpihakan media massa (Indonesia) dalam pemberitaan konflik kedua negara? Bagaimana peran media dalam mengemas isu ini menjadi opini publik? Untuk itu, penulis, dalam makalah ini, mengambil sikap Pro Keberpihakan Media Massa dalam Pembentukan Opini Publik dalam Kasus Konflik Indonesia-Malaysia.
II. KASUS
Media massa pada pertengahan Agustus 2010 lalu disibukkan dengan pemberitaan kasus Indonesia-Malaysia. Konflik kedua Negara serumpun ini memanas saat tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) ditangkap polisi Diraja Malaysia.
Penangkapan ketiga petugas KKP RI itu dilakukan di perairan Bintan, Kepulauan Riau. Kepastian lokasi penangkapan yang jelas-jelas berada di dalam wilayah RI tersebut disampaikan Ahmad Nurdin, Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Kepulauan Riau. Ditulis Kompas, Senin (16/8/2010), pernyataan Komisaris Besar itu disampaikan setelah melakukan cek ulang lokasi dengan menggunakan Kapal Patroli Taka.
Kejadian ini bermula dari tujuh nelayan Malaysia yang kedapatan mengambil ikan-ikan di perairan Bintan. Petugas KKP yang sedang berpatroli pun menggiring tiga nelayan tersebut ke Batam dengan memindahkan mereka ke dalam kapal KKP. Tiga dari petugas KKP mengawal lima kapal nelayan Malaysia. Polisi Diraja Malaysia pun kemudian menggiring lima kapal nelayan beserta tiga petugas KKP ke Johor setelah melepaskan tembakan peringatan.
Penangkapan tiga petugas KKP menyetrum sensitivitas rakyat Indonesia. Media massa dengan segera menjadikan kasus ini sebagai headline news yang bertengger pada halaman pertama media-media cetak. Begitu pun pada media massa lainnya.
Konflik kedua Negara ini lagi-lagi menyinggung masalah perbatasan. Keduanya mengklaim wilayah perbatasan secara sepihak. Terkait perbatasan dengan Malaysia, sejumlah wilayah perairan yang masih menjadi sengketa, antara lain, batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) untuk Segmen Selat Malaka; batas laut wilayah Indonesia-Malaysia untuk Segmen Selat Malaka Selatan; batas laut wilayah di Segmen Selat Singapura meliputi wilayah perairan seputar Pulau Batam, Bintan, dan Johor (Malaysia); batas ZEE Indonesia-Malaysia untuk Segmen Laut China Selatan; dan batas laut wilayah, ZEE, serta landas kontinen di Segmen Laut Sulawesi.
(Sumber : kompas.com)
Demonstrasi mengecam Malaysia kembali menyeruak. Rakyat menuntut ketegasan pemerintah dalam mengatasi perseteruan ini. Jargon pidato Soekarno untuk Malaysia, “Ganyang Malaysia”, menjadi kalimat utama para demonstran dalam teriakan-teriakannya.
Kedubes Malaysia diserbu berbagai ormas dan kalangan masyarakat lainnya. Aksi unjung rasa Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) berujung pada perobekan bendera Malaysia dan pelemparan kotoran manusia ke depan gedung kedubes Malaysia yang bermarkas di Jakarta tersebut.
Tak hanya demonstrasi, diskusi-diskusi, baik formal maupun nonformal digelar. Ranah publik di dunia maya tak pernah kosong ditinggal penghuninya. Grup-grup di berbagai situs jejaring sosial ikut mengkampanyekan kembali aksi ”Ganyang Malaysia”.  Aksi unjuk rasa yang begitu marak di Indonesia membuat Malaysia geram. PM Najib Abdul Razak pun memberikan ultimatum kepada pemerintah Indonesia untuk menertibkan aksi demonstrasi rakyat. Ultimatum ini dinilai Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, tidak menghargai Indonesia. Padahal, pada waktu sebelumnya, SBY telah menyampaikan surat presiden yang mengajak PM Malaysia berdamai dalam penuntasan konflik ini.
Kedua negara pun akhirnya melakukan pertemuan di Kinabalu untuk membahas masalah lebih lanjut. Hadir dalam pertemuan ini, Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Marty Natalegawa beserta jajarannya, dan Menlu Malaysia, Dato’ Sri Anifah Aman. Dalam konfersi persnya, kedua pihak mengatakan bahwa insiden 13 Agustus (Penangkapan petugas KKP) tidak akan terjadi lagi. Keduanya pun sepakat untuk menggunakan jalan diplomasi sebagai solusinya. Selain itu, akan ada pembahasan lebih lanjut mengenai System Operating Procedures (SOP) di wilayah perbatasan.
Lagi-lagi banyak pengamat yang menyatakan bahwa para delegasi Imdonesia lembek berhadapan dengan Malaysia. Saat pertemuan, Menlu Malaysia membenarkan adanya penangkapan tiga petugas KKP tersebut. Namun ia berkilah, bahwa penangkapan sudah sesuai prosedur Malaysia. “Indonesia tidak protes dengan pernyataan Menlu Malaysia itu, artinya Indonesia mengakui,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Riza Damanik dalam Antaranews online, 7 September lalu.
III. TEORI/KONSEP
Dalam kasus konflik Indonesia-Malaysia dapat dilihat ada keterkaitan media massa dalam hebohnya masalah ini diperbincangkan di tengah publik. Fungsi dan peran media massa menurut Lasswell dibagi menjadi tiga, yakni: pengamatan lingkungan, korelasi bagian-bagian dalam masyarakat untuk merespon lingkungan, dan penyampaian warisan masyarakat dari generasi ke generasi. (Werner J Severin dan James W. Tankard Jr, 2008 : 386).
Adapun fungsi yang kedua, korelasi, adalah fungsi dimana media memeberikan interpretasinya tentang informasi kepada masyarakat. Melalui fungsi ini, media kerap kali memasukkan kritik atau pandangannya terhadap isu-isu yang dinilai menyimpang. Media menjadi sebuah kontrol sosial atas lingkungannya. Media memberikan pandangan kepada khalayak untuk menyikapi suatu kejadian, misalnya melalui tahuk atau editorialnya. Untuk itu, dengan fungsi ini media mampu membentuk opini publik terhadap suatu isu.
Opini publik adalah gejala bersegi banyak yang disusun melalui saling pengaruh di antara proses personal, proses sosial, dan proses politik, dan diwujudkan dalam bentuk kegiatan massa, kelompok, dan rakyat.[1]
Opini publik merupakan kumpulan pendapat dari massa terhadap suatu isu atau kondisi tertentu. Publik dan masyarakat berbeda. Jika masyarakat sifatnya teratur, maka publik tidak. Ruang lingkup publik lebih kecil dari masyarakat, karena publik terdiri dari mereka yang tertarik akan suatu isu namun dalam skala yang masif. Interaksi yang terjadi melalui media massa memungkinkan publik memiliki jumlah massa yang kemudian terus berkembang.
Bernard Hennessy (1990), dalam bukunya Pendapat Umum mengemukakan 5 faktor pendapat umum (opini publik):[2]
1. Adanya isu (presence of an issue), harus terdapat consensus yang sesungguhnya, opini publik berkumpul di sekitar isu;
2. Nature of publics. Harus ada kelompok yang dikenal dan berkepentingan dengan persoalan itu;
3. Pilihan (complex of preferences), mengacu pada totalitas opini para anggota masyarakat tentang isu;
4. Suatu pernyataan / opini (expression of opinion), berbagai pernyataan bertumpuk sekitar isu;
5. Jumlah orang terlibat (number of person involved), opini publik adalah besarnya masyarakat yang menaruh perhatian terhadap isu.
Opini publik dalam pemerintahan demokratis merupakan hal yang esensial. Pada prinsipnya, apa yang dilakukan pemerintah harus sesuai dengan apa yang dipikrkan dan disuarakan oleh rakyat.[3] Ada beberapa prinsip opini publik yang diungkapkan Dr. Hadley Cantril, seorang pakar dari Lembaga Penelitian Opini Publik Universitas Princeton yang kemudian dikenal sebagi hukum opini publik:[4]
1. Opini publik sangat peka terhadap peristiwa penting;
2. Sekali kepentingan pribadi sudah terkait maka opini tidaklah mudah untuk diubah;
3. rakyat memiliki lebih banyak opini dan kemampuan membentuk opini-opini dengan lebih mudah dakam hubungannya dengan suatu tujuan daripada terhadap cara-cara yag diperlukan untuk mencapai tujuan itu;
4. cita-cita mewarnai opini publik sebagaimana halnya dengan opini pribadi jika sesuatu opini semata-mata berdasarkan kepada sutu cita-cita maka hal itu cenderung memperlihatkan arah perhatian yang besar terhadap peristiwa.
5. dimensi psikologis dalam suatu opini mempunyai peranan penting dalam hal pengarahan, imtensitas keluasan dan kedalaman;
IV. ANALISA KELOMPOK
Media massa sebagai saluran pilar keempat demokrasi tentu saja merasa memiliki tanggungjawab untuk menyalurkan apa yang dikehendaki rakyat. Menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, media pun intens memberitakan konflik ini. Media massa sendiri menjadi objek pengendalian sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Jadi pengawasan sosial yang berlangsung sifatnya adalah timbal balik antara media massa dengan masyarakat itu sendiri.
Pada dasarnya, efektivitas yang dihasilkan dari fungsi ini (kontrol sosial) bergantung pada integritas media itu sendiri. Selain itu, juga bergantung pada tingkat kepercayaan publik terhadap media yang bersangkutan. Untuk itu, sebagai pranata sosial yang menjadi corong informasi utama masyarakat, media pun harus memerhatikan integritasnya sendiri.
Sikap keberpihakan media massa dalam kasus konflik negara kita dan negara sebelah itu berlandaskan atas ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah atas kasus ini. Sebagaimana kasus yang telah dicontohkan di atas, media ramai memberitakan bagaimana pemerintah terkesan lembek menyikapi soal ini. Banyak pakar politik yang menganggap pidato presiden tidak mencerminkan arah yang jelas tentang bagaimana konflik ini bisa dimuarakan.
Pemerintahan SBY mengedepankan jalur diplomasi untuk berdamai. Diplomasi adalah seni dan praktek bernegosiasi oleh seseorang (disebut diplomat) yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi.[5] Sayangnya, jalur diplomasi yang ditempuh dinilai tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Pemerintah tidak berani memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia seperti yang pernah Soekarno lakukan. Pemutusan hubungan diplomatik ini bisa saja menjadi teguran keras terhadap Malaysia. ketidakberanian keputusan ini diambil, menurut SBY dalam pidatonya lalu secara eksplisit karena ketergantungan dalam banyak bidang, terutama bidang ekonomi.
Padahal, bila dilihat saja dari masalah TKI, Malaysia akan kelimpungan bila kehilangan para pekerjanya. Jumlah TKI di Malaysia tercatat mencapai 1,8 juta orang. Ini merupakan tantangan baru bagi pemerintah untuk memajukan SDM rakyat Indonesia yang mandiri. Selain itu, sengketa wilayah perbatasan yang menjadi hal sensitif pun perlu ditegaskan. Perlu dilakukan pembahasan khusus mengenai batas wilayah. Pemerintah pun harus mampu membela setiap jengkal tanah kesatuan bangsa ini.
Media massa dengan fungsinya sebagai pemberi informasi memberitakan konflik ini secara terus menerus dan lebih intens. Melalui fungsinya sebagai kontrol sosial pun media menyalurkan opininya lewat berbagai editorial yang pada akhirnya membentuk suatu konsensus yang diterima pula oleh publik.
Opini publik inilah yang kemudian menggiring gagasan-gagasan mendesak pemerintah untuk segera bertindak tegas. Seperti apa yang telah dikatakan pada hukum opini publik di atas, bahwa opini yang sudah menyinggung suatu kepentingan dari individu itu sendiri sulit untuk diubah. Kasus ini menyeret semangat nasionalisme publik untuk mempertahankan kedaulatan bangsa. Saat opini publik ini terus meluas, pemerintah pun harus mau bertindak cepat menyelesaikan konflik. Jika tidak, maka ketidakpuasan yang berujung pada ketidakpercayaan pemerintah akan segera terjadi.
Atas dasar ketidaktegasan itulah, kelompok kami menyatakan bahwa media massa berpihak untuk membentuk opini publik yang merupakan kesatuan atas opini rakyat ini terhadap Malaysia. Tujuan media massa tidak lain adalah untuk terus mendesak ketegasan sikap agar tidak selalu dianggap kecil oleh Malaysia.
V. Kelemahan Teori Korelasi
Kekuatan korelasi yang jauh lebih mudah untuk dilakukan daripada lebih penelitian eksperimental ketat karena Anda tidak memiliki kelompok kontrol dan variabel independen untuk memanipulasi. Kelemahan utama adalah bahwa semua menunjukkan korelasi adalah hubungan, atau kurangnya hubungan, antara dua variabel. Jika Anda mencoba untuk menentukan sebab dan akibat Anda tidak dapat melakukannya dengan penelitian korelasi karena Anda tidak tahu mana variabel mendahului yang lain dalam waktu. Selain itu, dua variabel dapat tampaknya berkorelasi tetapi, ketika variabel lain dicatat, korelasi tampak menghilang.Sebagai contoh, ketika es krim penjualan meningkatkan pembunuhan juga meningkat.Apakah ini menyiratkan hubungan antara penjualan es krim dan pembunuhan? Ketika variabel lain, panas, dicatat, korelasi antara es krim dan pembunuhan menghilang.Logikanya, akan lebih masuk akal bahwa, dengan meningkatnya panas, es krim dan meningkatkan penjualan jumlah kenaikan kasus pembunuhan. Panas, kemudian, account yang lebih baik untuk peningkatan penjualan es krim dan dalam jumlah pembunuhan. Fenomena ini disebut korelasi palsu dan selalu berbahaya ketika melakukan penelitian korelasional.

VI. PENUTUP
Kasus konflik Indonesia-Malaysia yang sudah terjadi sejak tahun 1960-an ini tentu saja tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, kedua Negara merupakan Negara serumpun yang sangat dekat, baik dari kondisi demografis maupun geografisnya. Perlu tindakan tegas dari kedua aparatur pemerintahan atas hal tersebut.
Sebagai Negara demokratis, rakyat Indonesia jelas memiliki hak untuk berpendapat yang juga sudah tertulis pada undang-undang. Pendapat/opini setiap individu terhadap konflik ini kemudian membumbung menjadi isu besar dan membentuk opini publik. Opini publik ini tidak lepas dari peran media massa dalam mengemas isu besar ini ke khalayak
Dengan perannya sebagi control sosial, maka media pun pantas untuk ikut berpartisipasi mengajak publik mendesak ketegasan dari pemerintah terkai kasus tersebut. Maka, diharapkan pemerintah pun memiliki bahasan khusus tentang penyelesaian kasus ini. Tidak harus selalu berujung pada konfrontasi dan peperangan, namun bisa dengan jalan diplomasi yang tegas dan tanpa rasa takut. Karena pada hakikatnya, bangsa ini lebih besar dari Malaysia dalam banyak hal.
REFERENSI
Mc. Quail, Dennis. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. 1996. Jakarta
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik : Khalayak dan Efek. 2006. Bandung : Remaja Rosdakarya
Olii, Helena. Opini Publik. 2007. Jakarta : Indeks
Severin, Werner J. “Teori Komunikasi:Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam
Media Massa”. 2008. Jakarta: Prenada Media
Soemirat, Betty dan Eddy Yehuda. Opini Publik Cetakan ke 5. 2007. Jakarta : Universitas Terbuka
Usman, Syafaruddin dan Isnawita Din. Ancaman Negeri Jiran : Dari ”Ganyang Malaysia” Sampai Konflik Ambalat. 2009. Yoyakarta: Media Pressindo

Internet :
http://www.wikipedia.com , diakses pada tanggal 16 Oktober 2010
http://www.antaranews.com, diakses pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2010
http://www.detiknews.com, diakses pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2010
http://www.mediaindonesia.com, diakses pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2010
http://www.kompas.com, diakses pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2010


[1] Nimmo, Dan. Komunikasi Politik : Khalayak dan Efek. Hlm:27.
[2] Olii, Helena. Opini Publik. Hlm: 20. 2007
[3] Soemirat, Betty dan Eddy Yehuda. Opini Publik Cetakan ke 5. Hlm: 6.22[4] Ibid. hlm: 4.31-4.35
[5] http://www.wikipedia.com , diakses pada tanggal 16 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar