Pengantar
Tulisan ini akan membahas tentang fenomena artis yang
terjun ke dalam dunia perpolitikan Indonesia dengan ditinjau dari sudut pandang
sosiologi kebudayaan. Belakangan ini dunia perpolitikan di Indonesia di warnai
oleh munculnya politisi-politisi muda dari dunia keartisan. Entah tujuan para
artis untuk terjun di dunia politik dengan di tunjang kapasitas atau
mengandalkan popularitas semata.
Panggung perpolitikan di dominasi oleh para selebritis khususnya bangku legislatif. Akan tetapi tidak hanya disitu saja, selebritis politik pun menjajal untuk menjadi kepala daerah tertentu.
Panggung perpolitikan di dominasi oleh para selebritis khususnya bangku legislatif. Akan tetapi tidak hanya disitu saja, selebritis politik pun menjajal untuk menjadi kepala daerah tertentu.
Masalah utama dalam pembahasan ini adalah fenomena
artis yang terjun kedalam ranah perpolitikan. Tentu saja hal ini menarik untuk
dibahas karena menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Dunia
keartisan dan dunia politik memang jauh berbeda. Maka, masyarakat khawatir jika
para artis menjadi politisi akan berdampak pada skala nasional pemerintahan.
Dengan latar belakang keartisan tanpa ada latar belakang perpolitikan, hal ini
menjadi penilaian tersendiri bagi masyarakat tentang pantas atau tidaknya
seseorang memimpin. Selain ada yang bertentangan adapula yang setuju-setuju
saja. Menurut pihak yang pro dengan hadirnya politisi dari kalangan artis bahwa
setiap warga negara mempunyai kemerdekaan dalam berserikat dan berkumpul. Hal
tersebut menjadi bagian dari hak asasi bagi setiap individu. Jadi sah-sah saja
bagi siapa saja yang terjun langsung dalam ranah perpolitikan Indonesia.
Kemerdekaan hak perorangan dalam mencalonkan diri untuk
pembangunan masyarakat telah tercantum dalam UUD'45 Pasal 28 yang menyebutkan
"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang", kemudian pada
Pasal 28C disebutkan pula (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum di
Indonesia menjunjung tinggi hak warga negaranya dalam berpolitik.
Sistematika penulisan yang akan disampaikan dalam
pembahasan ini, penulis membagi menjadi tiga kerangka bagian. Yang pertama
membahas tentang fenomena selebritis politik. Yang kedua tentang
bagaimana sistem budaya politik di Indonesia. Yang ketiga tentang
selebritis politik sebagai refleksi sistem budaya politik di Indonesia. Yang
terakhir bagian keempat penutup keseluruhan ringkasan pembahasan
dijelaskan dalam bagian ini. Untuk memperkuat dan memperjelas tulisan, penulis
memberikan penguatan dalam bentuk kajian pustaka.
Selebritis Politik dan Dunia Sosialnya
Fenomena
selebritis politik sebenarnya telah terjadi di setiap negara. Peran pekerja
seni memberikan warna yang lain dalam perpolitikan. Panggung perpolitikan
semakin ramai dan seolah-olah tak terbendung lagi. Misalnya, pada tahun
pemilihan umum 2009 dari Partai Amanat Nasional merupakan partai terbanyak yang
menjadi incaran para selebritis untuk membuka jalannya untuk berkecimpung di
dunia politik. Contohnya, Eko Patrio dari dapil Jawa Timur, Derry Drajat dapil
Jawa Barat, Ikang Fauzi dapil Banten serta banyak lain artis yang mencalonkan
diri di daerah pemilihan lainnya. Maka, ada selentingan jika singkatan dari PAN
merupakan Partai Artis Nasional. Seolah-olah tidak mau kalah Partai Bintang
Reformasi (PBR) meminta Dewi Yull
sebagai caleg. Dari Partai Damai Sejahtera (PDS)
tersebut nama Maya Rumantir, Bella Saphira, dan Tessa Kaunang sebagai caleg.
Baru-baru ini publik dikagetkan dengan pencalonan artis Julia Perez dan Ayu
Azhari dalam bursa calon kepala daerah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa keikutsertaan
selebritis dalam perpolitikan merupakan bentuk partisipasi politik dalam bentuk
aktif karena para selebritis tersebut menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam organisasi
politik. Dari segi dukungan, selebritis mengeruk sukungan terbanyak karena
popularitas yang mereka miliki serta untuk eksistensi partai politik yang
menanungi mereka. Seperti yang telah diketahui bersama dalam sosioalisasi
politik terdapat faktor eksistensi politik salah satunya popularitas tokoh
partai. Hal inilah yang teraplikasi dalam wajah perpolitikan di Indonesia.
Keterpilihan dan keterbanyakan suara para selebritis dalam panggung
perpolitikan memang tidak bisa dielakkan. Kebanyakan dari pemilihan umum yang
telah diselenggarakan suara kaum penghijrah (selebritis politik ) ini
mendapatkan suara tertinggi dibandingkan tokoh-tokoh politik lain yang
cenderung sudah lama dalam halpanggung perpolitikan. Politik praktis ini
tentu saja menghasilkan interpretasi tertentu bahwa menggunakan artis sebagai
calon legislatif atau calon kepala daerah lebih efektif. Hal tersebut
menguntungkan kedua belah pihak antara partai politik dan para selebritis.
Keuntungan yang didapatkan partai politik maka eksistensinya dibidang politik
makin terlihat. Keuntungan bagi selebritis politik maka ia akan mendapatkan
jabatan sebagai pemimpin.
Frank Lindenfeld menemukan bahwa faktor utama
yang mendorong orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik adalah kepuasan
finansial. Maka, dalam kehidupan berpolitik kemapanan ekonomi sangat perlu
karena dengan adanya kemapanan ekonomi, jika tidak orang tersebut akan merasa
apatis.[1]
Pada umumnya orang-orang yang berada di gedung parlemen termasuk para
selebritis berasal dari kalangan atas ang mampu membiayai segala keperluan
dalam perpolitikannya, meliputi dana kampanye.
Pandangan
masyarakat mengenai kehidupan dan hibar-bingar dunia para artis sehingga
menimbulkan persepsi yang negatif terhadap mereka. Persepsi ini yang membuat
masyarakat merasa kontra ketika ada selebritis yang mencalonkan diri sebagai
pemimpin daerah atau sebagai calon legislatif. Latar belakang dunia keartisan
memang jauh dari dunia perpolitikan. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran
tersendiri bagi masyarakat karena jika selebritis tersebut terpilih memimpin
daerah maka kinerjanya tidak sesuai dengan orang yang mempunyai latar belakang
ilmu kenegaraan. Bahkan disisi lain ada politisi dari kalangan selebritis yang
berhasil sebagai pemimpin daerah dan kinerjanya sebagai anggota legislatif.
Kejujuran, kekritisan, rasa bertanggung jawab dan mementingkan tujuan bersama
atas nama rakyat, sadar akan amanat dari rakyat yang memilihnya menjadi salah
satu kunci kesuksesannya.
Dalam hal ini,
keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan tentu saja tidak menyalahi
aturan karena hak asasi manusia telah tercantum dalam Undang-Undang dasar 1945
dan tersebar dalam beberapa pasal terutama pasal 27-31. Maka hak asasi
manusia meliputi hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak atas
kebebasan berkumpul, hak atas kebebasab beragagama, hak atas penghidupan yang
layak, hak atas kebebasan berserikat, hak atas pengajaran.
Selebritis Politik dalam Realitas Sistem Budaya
Politik Indonesia
Realitas budaya
politik di Indonesia ini tentang fenomena selebritis politik dan politisasi
selebritis belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Banyaknya para selebritis
ikut andil dalam bursa pencalonan diri sebagai kepala daerah dan calon
legislatif. Latar belakang profesi para artis yang menjabat sebagai kepala
daerah atau anggota DPR bermacam-macam, mulai dari ragam profesi sebagai artis
sinetron, bintang iklan dan pelawak. Hal ini menjadi fenomena karena kesuksesan
menjadi anggota DPR atau kepala daerah tertentu sangat menggiurkan. Keternaran
dan kewibawaan sebagai pemimpin mempunyai nilai tersendiri dikalangan artis.
Hal ini menjadi perhatian banyak orang, padahal di negara luar hal ini menjadi
lumrah seorang artis mencalonkan dirinya sebagai politisi. Fenomena ini terjadi
karena di Indonesia telah merasuk budaya pop (pop culture) dan politik praktis.
Keterlibatan
para selebritis berkecimpung di dunia politik tentu saja menimbulkan pro dan
kontra. Fenomena ini menjadi perdebatan dari dahulu hingga sekarang. Bagi
masyarakat yang pro atau membela tentu saja memandang hal ini sebagai hak asasi
manusia dan sifatnya sah-sah saja para artis untuk mencalonkan dirinya keranah
perpolitikan dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan duduk dalam
parlementer. Berbeda halnya bagi kalangan yang kontra atau kelompok yang
menentang tentu saja menolak karena menganggap bahwa para selebritis cenderung
mengandalkan penampilan fisik dibandingkan wawasan dan keahlian dalam kemampuan
berpolitik.
Pandangan
tentang keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan merupakan suatu
kebebasan yang menjadi bagian haknya sebagai warga negara. John Stuart Mill,
mengemukakan bahwa suatu konsepsi kebebasan menyertakan gagasan-gagasan
pengembangan diri dan peningkatan kemampuan diri.[2] Maka
keterlibatan seorang selebritis dalam bursa pencalonan menjadi pemimpin daerah
merupakan suatu peningkatan eksistensi diri dan proses pengembangan diri dalam
peningkatan kualitas hidupnya. Pandangan miring yang hinggap di atas nama
pencalonan seorang selebritis merupakan suatu bumbu politik.
Istilah Celebrity politic atau yang lebih kita
kenal sebagai selebritis politik telah menjadi bagian dalam dunia
perpolitikan di dunia khususnya di Indonesia. Dari tahun ketahun dunia
pemilihan umum diramaikan oleh wajah-wajah populer artis. Bagi kalangan para
artis sosialisasi menjadi hal yang tidak terlalu berat. Dengan modal
popularitas yang mereka miliki sosialisasi dalam era pemilihan ketua daerah
atau pemilihan untuk wakil legislatif. Cara kampanye yang digunakan para
politisi di Indonesia adalah dengan berbasis media, baik media televisi,
internet dan spanduk. Hal ini sudah mempengaruhi budaya kampanye di Indonesia.
Kampanye dengan melalui media internet dilakukan dengan bantuan jejaring sosial
seperti friendster, facebook, dan bloger dinilai lebih efektif bagi pemilih
muda.
Sistem pemilihan langsung menuntut para calon pemimpin
ini ekstra kerja keras dalam mensosialisasikan dan mempromisikan dirinya dengan
tujuan agar terpilih nantinya. Para politisi berlomba-lomba membuat iklan untuk
ditayangkan di televisi dengan menggambarkan diri mereka sebagai orang yang
peduli akan sesamanya. Misalnya politisi Rizal Malarangeng yang berusaha
mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang peduli dengan kaum-kaum yang termarjinalkan.
Petani, nelayan dan penduduk papua dalam iklan tersebut digambarkan dengan
akrabnya, bergaul dan berbaur dengan Rizal Malarangeng. Seluruh para elit
politik pada saat musim kampanye banyak yang mendekatkan diri dengan rakyat,
berusaha merasakan kehidupan masyarakat kecil, mencoba menarik simpati para
masyarakat kecil.
Ketenaran dan polpularitas sangat mempengaruhi besar
kecilnya suara yang akan diperoleh. Hal ini disebabkan oleh sistem pemilihan
umum yang berlangsung di Indonesia yang lebih mementingkan popularitas
dibandingkan visi dan misi dari seorang calon kandidat. Diperparah lagi dengan
minimnya peran serta masyarakat dan kurang pahamnya mereka tentang calon
kandidat, kemampuan dan pengalaman dibidang pembangunan masyarakat menjadi hal
yang tidak penting bagi masyarakat umum. Kecenderungan para selebritis terjun
dalam panggung perpolitikan menimbulkan selentingan bahwa para selebritis hanya
ikut-ikutan karena melihat teman sejawatnya yang terjundalam panggung politik
sukses dan menduduki jabatan terpenting.
Melibatkan artis sinetron atau public figure dalam
mensosialisasi partai politik tertentu dinilai sangat efektif. Hal ini
merupakan strategi partai politik untuk mengeksistensikan partai. Dalam
sosialisasi politik terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi partai,
yaitu : kapital, popularitas tokoh, mesin partai politik dan marketing politik.
Ada yang berpendapat bahwa perekrutan atris sebagai kader sebenarnya hanya
dimanfaatkan oleh partai politik. Tetapi pendapat lain bahwa artislah yang
memanfaatkan partai politik untuk menjadikan sumber pendapatan baru bagi para
selebritis.
Ada sebuah artikel yang berjudul "Celebrity
Politicians: Popular Culture and Political Representation" yang ditulis
oleh John Street. Pada dasarnya menjadi hak selebritis untuk mengandalkan
penampilan fisik dan kepopulerannya untuk masuk ke dunia politik. Namun menurut
street, selebritis yang memasuki dunia politik belum tentu layak dalam profesi
barunya sebagai politisi. Menurut street istilah “selebritis politik” tidak
dapat digeneralisasikan karena terdapat dua pemahaman tentang hal tersebut.
Pemahaman yang pertama bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya menggunakan
sisi keartisannya, dan pemahaman yang kedua bahwa “selebritis politik” yang
sepenuhnya meninggalkan sisi keartisannya dalam arti ia sepenuhnya menekuni
aktivitas sebagai aktivis politik yang menyuarakan perdamaian dan kritis dalam
menilai kebijakan.
Partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana
pengrekrutan politik. Dalam fenomena ini partai politik memanfaatkan fungsinya
sebagai tempat pengrekrutan para selebritis yang ingin menggunakan haknya untuk
ikut serta dalam dunia perpolitikan. Mekanisme yang terjadi dalam hal ini
adalah partai politik mencari dan mengajak orang yang dinilai berbakat untuk
turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Maka akan memperluas
partisipasi politik. Partai politik menarik dari golongan selebritis dan
golongan muda untuk dididik menjadi kader untuk masa yang akan datang serta
menjaga eksistensi partai politik tertentu.
Pro dan
kontra dalam keterlibatan selebritis dalam panggung perpolitikan di dalam masyatakat
akan terus berlangsung jika budaya popular yang kita anut telah terlepas dari
diri kita. Bahwa pada dasarnya mereka bisa memperoleh pengaruh karena kekayaan,
popularitas, daya tarik, pengetahuan, keyakinan atau karena kualitas
tertentu yang dikagumi oleh orang-orang lain[3].
Jadi kekuasaan seseorang dalam hal ini selebritis lebih berpeluang dalam
memperoleh tahta kekuasaan yang lebih besar karena mereka memiliki popularitas
serta didukung oelh budaya masyarakat kita yang menganut budaya pop.
Ketenaran seorang selebritis memberikan kontribusi
yang besar dalam pembentukan karier dalam dunia perpolitikan khususnya di Indonesia.
Bagaimana interaksinya dengan para awak media infotaiment memberikan kontribusi
pandanganbagi masyrakat tentang kepribadian seleberitis yang
bersangkutan. Menurut pandangan Denzin, kultur dalam makna dan bentuk
interaksionalnya, menjadi ajang perjuangan politik.[4]
Pencitraan yang dilakukan oleh selebritis dalam membangun citra yang baik
merupakan bagian dari bentuk politiknya yang tidak selalu berbentuk utuh
politik parlementer.
Budaya perpolitikan di Indonesia mempunyai ciri
perpolitikan yang sama dengan negara berkembang lainnya. Dimana menilai
seseorang tentang bagaimana dapat memiliki kekuasaaan didasarkan pada faktor-faktor
berikut: kekayaan, memiliki kapasitas intelektual, integritas moral, kharisma,
keterunan dan proses politik & sosial. Pada dasarnya seseorang berpolitik
untuk mengatur dengan mengkolektifkan kepentingan bersama agar mencapai
kehidupan yang lebih baik. Perpolitikan disuatu negara menyangkut pada
kekuasaan. Kekuasaan menurut Weber merupakan kemungkinan seseorang untuk
memaksakan orang lain untuk berperilaku sesuai kehendaknya.[5]
Kemungkinan orang memiliki kekuasaan di Indonesia lebih banyak berdasarkan
faktor kekayaan. Maka ada istilah “siapa yang kuat dialah yang dapat”. Realitas
perpolitikan di Indonesia mempunyai banyak kepentingan dan terkesan berebut
tahta kekuasaaan.
Sistem budaya perpolitikan di Indonesia menganut
sistem multipartai. Hal ini disebabkan oleh keanekaragaman masyarakat di
Indonesia mulai dari ras, agama, suku bangsa. Dalam politik multi-partai
golongan-golongan masyarakat cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatas
dalam satu wadah. Maka tidak heran dalam sistem politik multi-partai sering
kali partai yang tidak cukup kuat bertemu untuk membentuk koalisi dengan
partai-partai lain.
Partai politik merupakan bagian dari perilaku kolektif
yang bersama-sama yang mempunya tujuan yang sama. Menurut James S. Calomen,
baik aktor kolektif maupun aktor individual mempunyai tujuan.[6]
Komitmen dalam partai politik bahwa mementingkan kepentingan bersama daripada
kepentingan pribadi. Sebuah pandangan hidup yang dinanti-nantikan oleh
masyarakat khususnya di Indonesia. Pada saat musim kampanye berlangsung para
calon pemimpin dari masing-masing politik menggambar-gemborkan jargon “kami
akan mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi kami”.
Kalimat yang menggelitik bagi masyarakat yang mendengarnya. Bagi calon pemimpin
dari partai tersebut hal ini merupakan usaha untuk meyakinkan rakyat akan
keseriusannya dalam merubah tatanan yang sudah ada.
Penutup
Peran selebritis dalam jagad perpolitikan di dunia
sebenarnya sudah ada sejak dahulu tetapi budaya selebritis Indonesia masuk
ranah perpolitikan terhitung baru. Seletah beberapa selebritis yang menggunakan
hak warga negaranya terjun dalam politik dan berhasil menduduki kursi sebagai
kepala daerah dan anggota legislatif memberikan daya tarik tersendiri bagi
kalangan selebritis lain. maka ada selentingan bahwa para selebritis hanya
ikut-ikutan saja dan hanya mencoba peruntungan di dunia politik. Budaya pop
yang susah menjelma dalam diri masyarakat Indonesia telah memberikan pengaruh
yang luar biasa dalam perkembangan politik di Indonesia sendiri. Popularitas
seorang artis mengalahkan segala kharisma tokoh lain yang pada dasarnya telah
lama berkecimpung di dunia politik.
Pro dan kontra terus bergulir tentang keterlibatan
selebritis dalam ranah perpolitikan. Para politisi..., bukan salah satu figur
yang menentukan dalam pembentukan berbagai arus dalam perjuangan politik
mencapai kekuasaan. Jenis alat bantu yang mereka punyai juga sangat menentukan.[7]
Keeksistensian dalam ranah perpolitikan selebritis merupakan modal awal bagi
dirinya mengembangkan keterampilannya dibidang politik.
Kemunculan selebritis politik merupakan perwujudan
nyata dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemimpin. Hal ini
dimanfaatkan oleh partai politik untuk mempersunting selebritis sebagai calon
legislatif atau calon kepala daerah tertentu. Tentu saja hal ini menguntungkan
baik keuntungan kekuasaan maupun finansial.
DAFTAR PUSTAKA
Rafel Raga Maran. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT RINEKA
CIPTA. 2007.
Joseph Losco & Leonard Williams, terj. Haris Munandar. Politikal
Theory Kajian Klasik dan Kontemporer Machiavelli-Rawls. volume: II.
Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA. 2005. Hlm. 709
George Ritzer-Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Edisi
Ke-6. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D. Perpolitikan Global dalam Teori dan
Praktik. Jogyakarta. 2008
Max Weber, terj. Noorkholish dkk. Max Weber Sosiologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2009.
[2] Joseph Losco & Leonard Williams, terj. Haris Munandar, Politikal
Theory Kajian Klasik dan Kontemporer Machiavelli-Rawls, volume: II,
Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2005. Hlm. 709
[3] Ibid., hlm. 191
[4] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi
Ke-6, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Hlm.314.
[5] Rafel Raga Maran. Opcit,
hlm. 190
[6] Prof.
Aleksius Jemadu, Ph.D, Perpolitikan Global dalam Teori dan Praktik,
Jogyakarta, 2008. Hlm. 22.
[7] Max
Weber, terj. Noorkholish dkk, Max Weber Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009. Hlm. 94.
suararakyat24.blogspot.com
BalasHapus