Minggu, 09 Desember 2012

FENOMENA ARTIS DIKANCAH POLITIK SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BUDAYA POLITIK INDONESIA

Pengantar

Tulisan ini akan membahas tentang fenomena artis yang terjun ke dalam dunia perpolitikan Indonesia dengan ditinjau dari sudut pandang sosiologi kebudayaan. Belakangan ini dunia perpolitikan di Indonesia di warnai oleh munculnya politisi-politisi muda dari dunia keartisan. Entah tujuan para artis untuk terjun di dunia politik dengan di tunjang kapasitas atau mengandalkan popularitas semata.
Panggung perpolitikan di dominasi oleh para selebritis khususnya bangku legislatif. Akan tetapi tidak hanya disitu saja, selebritis politik pun menjajal untuk menjadi kepala daerah tertentu.
Masalah utama dalam pembahasan ini adalah fenomena artis yang terjun kedalam ranah perpolitikan. Tentu saja hal ini menarik untuk dibahas karena menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Dunia keartisan dan dunia politik memang jauh berbeda. Maka, masyarakat khawatir jika para artis menjadi politisi akan berdampak pada skala nasional pemerintahan. Dengan latar belakang keartisan tanpa ada latar belakang perpolitikan, hal ini menjadi penilaian tersendiri bagi masyarakat tentang pantas atau tidaknya seseorang memimpin. Selain ada yang bertentangan adapula yang setuju-setuju saja. Menurut pihak yang pro dengan hadirnya politisi dari kalangan artis bahwa setiap warga negara mempunyai kemerdekaan dalam berserikat dan berkumpul. Hal tersebut menjadi bagian dari hak asasi bagi setiap individu. Jadi sah-sah saja bagi siapa saja yang terjun langsung dalam ranah perpolitikan Indonesia.
Kemerdekaan hak perorangan dalam mencalonkan diri untuk pembangunan masyarakat telah tercantum dalam UUD'45 Pasal 28 yang menyebutkan "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang", kemudian pada Pasal 28C disebutkan pula (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia menjunjung tinggi hak warga negaranya dalam berpolitik.
Sistematika penulisan yang akan disampaikan dalam pembahasan ini, penulis membagi menjadi tiga kerangka bagian. Yang pertama membahas tentang fenomena selebritis politik. Yang kedua tentang bagaimana sistem budaya politik di Indonesia. Yang ketiga tentang selebritis politik sebagai refleksi sistem budaya politik di Indonesia. Yang terakhir bagian keempat penutup keseluruhan ringkasan pembahasan dijelaskan dalam bagian ini. Untuk memperkuat dan memperjelas tulisan, penulis memberikan penguatan dalam bentuk kajian pustaka.

Selebritis Politik dan Dunia Sosialnya
            Fenomena selebritis politik sebenarnya telah terjadi di setiap negara. Peran pekerja seni memberikan warna yang lain dalam perpolitikan. Panggung perpolitikan semakin ramai dan seolah-olah tak terbendung lagi. Misalnya, pada tahun pemilihan umum 2009 dari Partai Amanat Nasional merupakan partai terbanyak yang menjadi incaran para selebritis untuk membuka jalannya untuk berkecimpung di dunia politik. Contohnya, Eko Patrio dari dapil Jawa Timur, Derry Drajat dapil Jawa Barat, Ikang Fauzi dapil Banten serta banyak lain artis yang mencalonkan diri di daerah pemilihan lainnya. Maka, ada selentingan jika singkatan dari PAN merupakan Partai Artis Nasional. Seolah-olah tidak mau kalah Partai Bintang Reformasi (PBR) meminta Dewi Yull sebagai caleg. Dari Partai Damai Sejahtera (PDS) tersebut nama Maya Rumantir, Bella Saphira, dan Tessa Kaunang sebagai caleg. Baru-baru ini publik dikagetkan dengan pencalonan artis Julia Perez dan Ayu Azhari dalam bursa calon kepala daerah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa keikutsertaan selebritis dalam perpolitikan merupakan bentuk partisipasi politik dalam bentuk aktif karena para selebritis tersebut menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam organisasi politik. Dari segi dukungan, selebritis mengeruk sukungan terbanyak karena popularitas yang mereka miliki serta untuk eksistensi partai politik yang menanungi mereka. Seperti yang telah diketahui bersama dalam sosioalisasi politik terdapat faktor eksistensi politik salah satunya popularitas tokoh partai. Hal inilah yang teraplikasi dalam wajah perpolitikan di Indonesia.
            Keterpilihan dan keterbanyakan suara para selebritis dalam panggung perpolitikan memang tidak bisa dielakkan. Kebanyakan dari pemilihan umum yang telah diselenggarakan suara kaum penghijrah (selebritis politik ) ini mendapatkan suara tertinggi dibandingkan tokoh-tokoh politik lain yang cenderung sudah lama dalam halpanggung  perpolitikan. Politik praktis ini tentu saja menghasilkan interpretasi tertentu bahwa menggunakan artis sebagai calon legislatif atau calon kepala daerah lebih efektif. Hal tersebut menguntungkan kedua belah pihak antara partai politik dan para selebritis. Keuntungan yang didapatkan partai politik maka eksistensinya dibidang politik makin terlihat. Keuntungan bagi selebritis politik maka ia akan mendapatkan jabatan sebagai pemimpin.
 Frank Lindenfeld menemukan bahwa faktor utama yang mendorong orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik adalah kepuasan finansial. Maka, dalam kehidupan berpolitik kemapanan ekonomi sangat perlu karena dengan adanya kemapanan ekonomi, jika tidak orang tersebut akan merasa apatis.[1] Pada umumnya orang-orang yang berada di gedung parlemen termasuk para selebritis berasal dari kalangan atas ang mampu membiayai segala keperluan dalam perpolitikannya, meliputi dana kampanye.
Pandangan masyarakat mengenai kehidupan dan hibar-bingar dunia para artis sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap mereka. Persepsi ini yang membuat masyarakat merasa kontra ketika ada selebritis yang mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah atau sebagai calon legislatif. Latar belakang dunia keartisan memang jauh dari dunia perpolitikan. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat karena jika selebritis tersebut terpilih memimpin daerah maka kinerjanya tidak sesuai dengan orang yang mempunyai latar belakang ilmu kenegaraan. Bahkan disisi lain ada politisi dari kalangan selebritis yang berhasil sebagai pemimpin daerah dan kinerjanya sebagai anggota legislatif. Kejujuran, kekritisan, rasa bertanggung jawab dan mementingkan tujuan bersama atas nama rakyat, sadar akan amanat dari rakyat yang memilihnya menjadi salah satu kunci kesuksesannya.
Dalam hal ini, keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan tentu saja tidak menyalahi aturan karena hak asasi manusia telah tercantum dalam Undang-Undang dasar 1945 dan tersebar dalam beberapa pasal  terutama pasal 27-31. Maka hak asasi manusia meliputi hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasab beragagama, hak atas penghidupan yang layak, hak atas kebebasan berserikat, hak atas pengajaran.

Selebritis Politik dalam Realitas Sistem Budaya Politik Indonesia
Realitas budaya politik di Indonesia ini tentang fenomena selebritis politik dan politisasi selebritis belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Banyaknya para selebritis ikut andil dalam bursa pencalonan diri sebagai kepala daerah dan calon legislatif. Latar belakang profesi para artis yang menjabat sebagai kepala daerah atau anggota DPR bermacam-macam, mulai dari ragam profesi sebagai artis sinetron, bintang iklan dan pelawak. Hal ini menjadi fenomena karena kesuksesan menjadi anggota DPR atau kepala daerah tertentu sangat menggiurkan. Keternaran dan kewibawaan sebagai pemimpin mempunyai nilai tersendiri dikalangan artis. Hal ini menjadi perhatian banyak orang, padahal di negara luar hal ini menjadi lumrah seorang artis mencalonkan dirinya sebagai politisi. Fenomena ini terjadi karena di Indonesia telah merasuk budaya pop (pop culture) dan politik praktis.
Keterlibatan para selebritis berkecimpung di dunia politik tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Fenomena ini menjadi perdebatan dari dahulu hingga sekarang. Bagi masyarakat yang pro atau membela tentu saja memandang hal ini sebagai hak asasi manusia dan sifatnya sah-sah saja para artis untuk mencalonkan dirinya keranah perpolitikan dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan duduk dalam parlementer. Berbeda halnya bagi kalangan yang kontra atau kelompok yang menentang tentu saja menolak karena menganggap bahwa para selebritis cenderung mengandalkan penampilan fisik dibandingkan wawasan dan keahlian dalam kemampuan berpolitik.
Pandangan tentang keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan merupakan suatu kebebasan yang menjadi bagian haknya sebagai warga negara. John Stuart Mill, mengemukakan bahwa suatu  konsepsi kebebasan menyertakan gagasan-gagasan pengembangan diri dan peningkatan kemampuan diri.[2] Maka keterlibatan seorang selebritis dalam bursa pencalonan menjadi pemimpin daerah merupakan suatu peningkatan eksistensi diri dan proses pengembangan diri dalam peningkatan kualitas hidupnya. Pandangan miring yang hinggap di atas nama pencalonan seorang selebritis merupakan suatu bumbu politik.
Istilah Celebrity politic atau yang lebih kita kenal sebagai selebritis politik telah  menjadi bagian dalam dunia perpolitikan di dunia khususnya di Indonesia. Dari tahun ketahun dunia pemilihan umum diramaikan oleh wajah-wajah populer artis. Bagi kalangan para artis sosialisasi menjadi hal yang tidak terlalu berat. Dengan modal popularitas yang mereka miliki sosialisasi dalam era pemilihan ketua daerah atau pemilihan untuk wakil legislatif. Cara kampanye yang digunakan para politisi di Indonesia adalah dengan  berbasis media, baik media televisi, internet dan spanduk. Hal ini sudah mempengaruhi budaya kampanye di Indonesia. Kampanye dengan melalui media internet dilakukan dengan bantuan jejaring sosial seperti friendster, facebook, dan bloger dinilai lebih efektif bagi pemilih muda.
Sistem pemilihan langsung menuntut para calon pemimpin ini ekstra kerja keras dalam mensosialisasikan dan mempromisikan dirinya dengan tujuan agar terpilih nantinya. Para politisi berlomba-lomba membuat iklan untuk ditayangkan di televisi dengan menggambarkan diri mereka sebagai orang yang peduli akan sesamanya. Misalnya politisi Rizal Malarangeng yang berusaha mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang peduli dengan kaum-kaum yang termarjinalkan. Petani, nelayan dan penduduk papua dalam iklan tersebut digambarkan dengan akrabnya, bergaul dan berbaur dengan Rizal Malarangeng. Seluruh para elit politik pada saat musim kampanye banyak yang mendekatkan diri dengan rakyat, berusaha merasakan kehidupan masyarakat kecil, mencoba menarik simpati para masyarakat kecil.
Ketenaran dan polpularitas sangat mempengaruhi besar kecilnya suara yang akan diperoleh. Hal ini disebabkan oleh sistem pemilihan umum yang berlangsung di Indonesia yang lebih mementingkan popularitas dibandingkan visi dan misi dari seorang calon kandidat. Diperparah lagi dengan minimnya peran serta masyarakat dan kurang pahamnya mereka tentang calon kandidat, kemampuan dan pengalaman dibidang pembangunan masyarakat menjadi hal yang tidak penting bagi masyarakat umum. Kecenderungan para selebritis terjun dalam panggung perpolitikan menimbulkan selentingan bahwa para selebritis hanya ikut-ikutan karena melihat teman sejawatnya yang terjundalam panggung politik sukses dan menduduki jabatan terpenting.
            Melibatkan artis sinetron atau public figure dalam mensosialisasi partai politik tertentu dinilai sangat efektif. Hal ini merupakan strategi partai politik untuk mengeksistensikan partai. Dalam sosialisasi politik terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi partai, yaitu : kapital, popularitas tokoh, mesin partai politik dan marketing politik. Ada yang berpendapat bahwa perekrutan atris sebagai kader sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh partai politik. Tetapi pendapat lain bahwa artislah yang memanfaatkan partai politik untuk menjadikan sumber pendapatan baru bagi para selebritis.
Ada sebuah artikel yang berjudul "Celebrity Politicians: Popular Culture and Political Representation" yang ditulis oleh John Street. Pada dasarnya menjadi hak selebritis untuk mengandalkan penampilan fisik dan kepopulerannya untuk masuk ke dunia politik. Namun menurut street, selebritis yang memasuki dunia politik belum tentu layak dalam profesi barunya sebagai politisi. Menurut street istilah “selebritis politik” tidak dapat digeneralisasikan karena terdapat dua pemahaman tentang hal tersebut. Pemahaman yang pertama bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya menggunakan sisi keartisannya, dan pemahaman yang kedua bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya meninggalkan sisi keartisannya dalam arti ia sepenuhnya menekuni aktivitas sebagai aktivis politik yang menyuarakan perdamaian dan kritis dalam menilai kebijakan.
            Partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana pengrekrutan politik. Dalam fenomena ini partai politik memanfaatkan fungsinya sebagai tempat pengrekrutan para selebritis yang ingin menggunakan haknya untuk ikut serta dalam dunia perpolitikan. Mekanisme yang terjadi dalam hal ini adalah partai politik mencari dan mengajak orang yang dinilai berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Maka akan memperluas partisipasi politik. Partai politik menarik dari golongan selebritis dan golongan muda untuk dididik menjadi kader untuk masa yang akan datang serta menjaga eksistensi partai politik tertentu.
            Pro dan kontra dalam keterlibatan selebritis dalam panggung perpolitikan di dalam masyatakat akan terus berlangsung jika budaya popular yang kita anut telah terlepas dari diri kita. Bahwa pada dasarnya mereka bisa memperoleh pengaruh karena kekayaan, popularitas, daya tarik, pengetahuan, keyakinan  atau karena kualitas tertentu yang dikagumi oleh orang-orang lain[3]. Jadi kekuasaan seseorang dalam hal ini selebritis lebih berpeluang dalam memperoleh tahta kekuasaan yang lebih besar karena mereka memiliki popularitas serta didukung oelh budaya masyarakat kita yang menganut budaya pop.
Ketenaran seorang selebritis memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan karier dalam dunia perpolitikan khususnya di Indonesia. Bagaimana interaksinya dengan para awak media infotaiment memberikan kontribusi pandanganbagi  masyrakat tentang kepribadian seleberitis yang bersangkutan. Menurut pandangan Denzin, kultur dalam makna dan bentuk interaksionalnya, menjadi ajang perjuangan politik.[4] Pencitraan yang dilakukan oleh selebritis dalam membangun citra yang baik merupakan bagian dari bentuk politiknya yang tidak selalu berbentuk utuh politik parlementer.
Budaya perpolitikan di Indonesia mempunyai ciri perpolitikan yang sama dengan negara berkembang lainnya. Dimana menilai seseorang tentang bagaimana dapat memiliki kekuasaaan didasarkan pada faktor-faktor berikut: kekayaan, memiliki kapasitas intelektual, integritas moral, kharisma, keterunan dan proses politik & sosial. Pada dasarnya seseorang berpolitik untuk mengatur dengan mengkolektifkan kepentingan bersama agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Perpolitikan disuatu negara menyangkut pada kekuasaan. Kekuasaan menurut Weber merupakan kemungkinan seseorang untuk memaksakan orang lain untuk berperilaku sesuai kehendaknya.[5] Kemungkinan orang memiliki kekuasaan di Indonesia lebih banyak berdasarkan faktor kekayaan. Maka ada istilah “siapa yang kuat dialah yang dapat”. Realitas perpolitikan di Indonesia mempunyai banyak kepentingan dan terkesan berebut tahta kekuasaaan.
Sistem budaya perpolitikan di Indonesia menganut sistem multipartai. Hal ini disebabkan oleh keanekaragaman masyarakat di Indonesia mulai dari ras, agama, suku bangsa. Dalam politik multi-partai golongan-golongan masyarakat cenderung  menyalurkan ikatan-ikatan terbatas dalam satu wadah. Maka tidak heran dalam sistem politik multi-partai sering kali partai yang tidak cukup kuat bertemu untuk membentuk koalisi dengan partai-partai lain.
Partai politik merupakan bagian dari perilaku kolektif yang bersama-sama yang mempunya tujuan yang sama. Menurut James S. Calomen, baik aktor kolektif maupun aktor individual mempunyai tujuan.[6] Komitmen dalam partai politik bahwa mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Sebuah pandangan hidup yang dinanti-nantikan oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Pada saat musim kampanye berlangsung para calon pemimpin dari masing-masing politik menggambar-gemborkan jargon “kami akan mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi kami”. Kalimat yang menggelitik bagi masyarakat yang mendengarnya. Bagi calon pemimpin dari partai tersebut hal ini merupakan usaha untuk meyakinkan rakyat akan keseriusannya dalam merubah tatanan yang sudah ada.

Penutup
            Peran selebritis dalam jagad perpolitikan di dunia sebenarnya sudah ada sejak dahulu tetapi budaya selebritis Indonesia masuk ranah perpolitikan terhitung baru. Seletah beberapa selebritis yang menggunakan hak warga negaranya terjun dalam politik dan berhasil menduduki kursi sebagai kepala daerah dan anggota legislatif memberikan daya tarik tersendiri bagi kalangan selebritis lain. maka ada selentingan bahwa para selebritis hanya ikut-ikutan saja dan hanya mencoba peruntungan di dunia politik. Budaya pop yang susah menjelma dalam diri masyarakat Indonesia telah memberikan pengaruh yang luar biasa dalam perkembangan politik di Indonesia sendiri. Popularitas seorang artis mengalahkan segala kharisma tokoh lain yang pada dasarnya telah lama berkecimpung di dunia politik.
Pro dan kontra terus bergulir tentang keterlibatan selebritis dalam ranah perpolitikan. Para politisi..., bukan salah satu figur yang menentukan dalam pembentukan berbagai arus dalam perjuangan politik mencapai kekuasaan. Jenis alat bantu yang mereka punyai juga sangat menentukan.[7] Keeksistensian dalam ranah perpolitikan selebritis merupakan modal awal bagi dirinya mengembangkan keterampilannya dibidang politik.
Kemunculan selebritis politik merupakan perwujudan nyata dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemimpin. Hal ini dimanfaatkan oleh partai politik untuk mempersunting selebritis sebagai calon legislatif atau calon kepala daerah tertentu. Tentu saja hal ini menguntungkan baik keuntungan kekuasaan maupun finansial.
 

DAFTAR PUSTAKA

Rafel Raga Maran. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. 2007.
Joseph Losco & Leonard Williams, terj. Haris Munandar. Politikal Theory Kajian Klasik dan Kontemporer Machiavelli-Rawls. volume: II. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA. 2005. Hlm. 709
George Ritzer-Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Edisi Ke-6. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D.  Perpolitikan Global dalam Teori dan Praktik. Jogyakarta. 2008
Max Weber, terj. Noorkholish dkk. Max Weber Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.






[1] Rafel Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik , Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2007. Hlm. 156
[2] Joseph Losco & Leonard Williams, terj. Haris Munandar, Politikal Theory Kajian Klasik dan Kontemporer Machiavelli-Rawls, volume: II, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2005. Hlm. 709
[3] Ibid., hlm. 191
[4] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Ke-6, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Hlm.314.
[5] Rafel Raga Maran. Opcit,  hlm. 190
[6] Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D, Perpolitikan Global dalam Teori dan Praktik, Jogyakarta, 2008. Hlm. 22.
[7] Max Weber, terj. Noorkholish dkk, Max Weber Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Hlm. 94.
 

1 komentar: