Minggu, 09 Desember 2012

REGULASI DAN ETIKA MEDIA

PENDAHULUAN

Ketika kita hidup dalam atmosfir demokrasi, maka iklim saling melontarkan pendapat dan adu argumen tentu menjadi suatu hal yang biasa dan jangan sampai “diambil hati”. Ini adalah ekses demokrasi. Jika tidak suka, maka jangan hidup di negara demokrasi. Namun dari sini muncullah pertanyaan, apa ia kebebasan berpendapat dapat dilakukan tanpa ada regulasi dan etikanya? Bukankah kebebasan yang seperti ini justru akan menjadi kebablasan? Lalu,
dalam era teknologi komunikasi berkembang pesat, bukankah kebablasan ini akan menjadi chaos jika tak ada sesuatu yang dapat mengatur perilaku kebablasan itu tadi? Karena katanya di negara kita Indonesia ini memang bebas tapi harus bertanggung jawab, benarkah?
Banyak kalangan yang mengaitkan etika dengan profesi atau pekerjaan yang memerlukan kepercayaan dari masyarakat dalam prosesnya, sehingga perlu adanya sistem yang mengatur tata krama pengerjaan profesi tersebut. Etika dalam dunia komunikasi sendiri ada yang mendefiinisikan sebagai standar dan peraturan moral untuk pekerja profesional media yang harus diterapkan dalam berbagai situasi. Etika menjadi pegangan utama bagi para pekerja media di luar regulasi dan kebijakan pemerintah yang bersifat formal. Etikalah yang memandu komunikator mengenai bagaimana seharusnya mereka berperilaku dalam berbagai situasi, di mana kegiatan mereka mungkin mempunyai dampak negatif terhadap orang lain. (Yuliniar Luthfaida : 2011)
Demikian halnya dengan etika ilmu komunikasi, menjadi domain pengetahuan yang digunakan umtuk melakukan kajian terhadap perilaku dan hasil kerja pelaku profesi bidang komunikasi. Jadi etika komunikasi berbicara masalah kajian profesi komunikasi dengan berlandaskan pada nilai sosial, teori normatif, nilai filsafat etika dan standar moral profesi sebagai perangkat analisis (Siregar,1993:10).
LANDASAN TEORI
A.    Pengertian Regulasi dan Etika
Dalam salah satu teori media, yakni teori Hirarki Pengaruh (Hierarcy of Influence Theory) yang dikenalkan oleh shoemaker dan Reese (1996 : 11) menegaskan bahwa isi dari media dipengaruhi oleh beberapa faktor yang luas dari dalam dan luar organisasi media. Level-level pengaruh tersebut antaralain teks kerapkali dipengaruhi oleh individu, rutinitas media, kebijakan organisasional, extra media, dan ideologi. Dengan demikian, sebuah realitas simbolik media tak akan lepas dari pengaruh-pengaruh tersebut. Dan konsekwensi logis dari hal tersebut adalah ketika pengaruh-pengaruh itu membawa muatan-muatan negatif yang melampaui koridor etika dan regulasi media. (Gun Gun Heryanto : 2011).
Sebelum jauh membahas regulasi dan etika media massa, akan bijak kiranya apabila sedikit penulis jelaskan pengertian dan regulasi dan etika tersebut dengan beberapa asumsi dan pendapat para ahli.
a.    Pengertian Regulasi
“People are afraid of and resist new media” (Wartella & Reeves 1983)
Kira-kira itulah yang dipikirkan sebagian orang ketika mendengar new media. Di mana sebagian orang mungkin akan takut akan keberadaan media baru sementara sisanya akan bertahan, bahkan senang karena menunjang kepentingan. New media sendiri lahir dari istilah”konvergensi”. Konvergensi diartikan sebagai cara menyajikan konten berita melalui platform media yang beragam dalam satu kesatuan (usaha) maupun komando (cara kerja di News Room), menghadirkan konten yang beragam kepada khalayak yang beragam pula sesuai minat dan media yang digunakan (elektronik, online, mobile).
Regulasi Media adalah aturan-aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan yang mengatur hubungan dan operasinal media massa. Regulasi sangat penting bagi keteraturan dan keseimbangan hubungan media dengan pemerintah, masyarakat, sesama industri media dan global media. (Umaimah : 2011)
Kebijakan negara dalam pengaturan industri media bisa saja dilihat dari aras kebijakan politik komunikasi yang dijalankan. Sehingga hal itu akan berpengaruh secara signifikan terhadap usaha-usaha perwujudan kebijakan kebebasan komunikasi masyarakat.
Atau dalam arti lain, berbagai kebijakan pemerintah yang dibuat melalui (regulasi, deregulasi) pada wilayah komunikasi mengandung banyak makna budaya dan politik yang ditimbulkan sebagai akibat dari perkembangan sejarah dan politik negara. Dalam usaha menjelaskan regulasi media dapat dilihat dari aspek pemfungsian media komunikasi yang dilakukan oleh negara.  Dimana negara memiliki wewenang untuk mengatur dan mengeluarkan kebijakan apakah media dibuat untuk mendorong terciptanya perubahan sosial di masyarakat, atau bisa saja media diciptakan untuk menjadi corong kekuasan yang menginformasikan kepentingan-kepentingan negara. (Aminah S : 2012/ Materi perkuliahan EKOPOL)
Berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology / ICT) selama dekade terakhir membawa tren baru di dunia industri komunikasi yakni hadirnya beragam media yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan teknologi komunikasi massa tradisional. Pada tataran praktis maupun teoritis, fenomena yang sering disebut sebagai konvergensi media ini memunculkan beberapa konsekuensi penting. Di ranah praktis, konvergensi media bukan saja memperkaya informasi yang disajikan, melainkan juga memberi pilihan kepada khalayak untuk memilih informasi yang sesuai dengan selera mereka. Tidak kalah serius, konvergensi media memberikan kesempatan baru yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data dan sebagainya. (Preston, 2001)
Dalam pembahasan ini, kami mencoba mendefinisikan bahwa regulasi media massa ialah seperangkat aturan yang berisikan aturan-aturan mengenai media massa dan segala aspek terkaitnya seperti jurnalisme, penyiaran dan sebagainya dan bersifat mengikat, dan regulasi ini dibuat dan dikeluarkan oleh pemerintah yang terkait.
b.    Pengertian Etika
Sementara itu etika media massa ialah kesadaran moral mengenai kewajiban-kewajiban media massa dan mengenai penilaian media massa yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.
Etika adalah sebuah studi tentang formasi nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip benar dan salah (Altschull, 1990). Dalam kaitannya dengan jurnalistik, etika merupakan perspektif moral yang diacu dalam mengambil keputusan peliputan dan pemuatan fakta menjadi berita. Etika terbagi dua: Substantif, wilayah moral personal untuk mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Operasional, wilayah teknis berupa panduan bagaimana meliput dan memuat sebuah peristiwa. Konsep terkini dari etika jurnalisme adalah mendahulukan pelayanan kemanusiaan lebih besar daripada kehendak pribadi. Jurnalis profesional mempercayai bahwa tujuan jurnalisme adalah untuk menyajikan kebenaran. Untuk itu, sejumlah prinsip etis harus dipakai seperti akurasi, objektif, natral, dan sebagainya (Kovach dan Rosenstiel, 2001).
Etika deskriptif (descriptive ethics) yaitu mempelajari dua hal yaitu personal morality dan social morality, yaitu menganalisis bermacam-macam aspek dari tingkah laku manusia seperti motif, niat dan tindakan-tindakan. Namun kajian etika deskriptif tidak berpretensi untuk memberi penilaian atas apa yang dilihat atau diamati. Etika normatif (normative ethics) yaitu mendasarkan penyelidikan atas prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam kehidupan kita. Dalam kajian etika normatif berupaya memberikan penilaian menurut ‘nilai dan kepentingan moral’ yang dimiliki oleh seseorang. Penilaian baik atau butuk sebuah content media didasarkan pada pertimbangan nilai yang dimiliki seseorang. Norma adalah aturan-aturan yg dibuat berdasarkan kesepakatan bersama sebuah komunitas, kelompok, masyarakat yg menjadi pertimbangan dalam bertindak dan berprilaku terhadap diri dan orang lain, apakah baik atau buruk. Etika adalah penyelidikan, kajian, ilmu dan filosofi mnegenai pertimbangan baik dan buruk, indah dan jelek terhadap sesuatu. (Ummaimah : 2011)
Hukum dan etika media komunikasi merupakan peraturan perilaku formal yang dipaksakan oleh otoritas berdaulat, seperti pemerintah kepada rakyat atau warga negaranya. Dalam ranah media massa, ada beberapa regulasi yang mengatur penyelenggaraan dan pemanfaatan media massa. Selain undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang dibuat oleh lembaga legislatif ataupun pemerintah tersebut, perlu adanya pedoman berperilaku lain yang tidak memberi sanksi fisik, baik berupa penjara atau denda, namun lebih pada sanksi moral untuk mengatur manusia dalam berinteraksi dengan media yang memiliki aspek yang kompleks berupa etika.
Dalam bukunya An Introduction to Ethics, W. Lilie memberi definisi “etika” sebagai ilmu pengetahuan  normatif mengenai kelakuan manusia dalam kehidupannya di masyarakat. Dari pendapat tersebut—juga pendapat ahli-ahli yang lain, dapat disimpulkan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan normatif yang menjadi bagian dari filsafat moral. Ketiga hal ini dapat dihubungkan sebagai berikut; etika merupakan filsafat moral dan filsafat moral adalah bagian dari filsafat yang disebut filsafat praktis. Dan berbicara tentang filsafat maka tak dapat dilepaskan dari konteks asal-usulnya sebagai ilmu pengetahuan karena kedudukan filsafat yang menjadi induk ilmu pengetahuan.
Namun, ilmu pengetahuan bukanlah hal yang terbatas pada aplikasi fisik dan eksperimental semata. Ilmu tidak hanya bersifat teoretis dalam pengertian hanya untuk mengenal bagaimana objeknya, tetapi juga praktis. Artinya untuk mengenal bagaimana seharusnya orang bertindak. Ilmu tak hanya deskriptif tetapi juga normatif.
Jadi, jika diambil suatu kecenderungan etika dan ilmu. kedua-duanya bergerak dalam tataran relatif. Karena sebuah ilmu yang tidak dilandasi etika, maka akan cenderung tidak terkontrol dan mengabaikan nilai-nilai moral. Jadi harus ada sinergi antara etika dan ilmu. Memang untuk dapat menjadi ilmu, etika harus (antara lain) bersifat kritis, metodologis dan sistematis. Kritis artinya setiap penerimaaan atau pernyataan harus mempunyai dasar yang cukup. Metodologis artinya dalam proses berpikir dan menyelidiki menggunakan suatu cara tertentu. Sistematis artinya bahwa pemikiran ilmiah dalam prosesnya dijiwai oleh suatu ide yang menyeluruh dan menyatukan sehingga pikiran-pikiran dan pendapat-pendapatnya tidak tanpa hubungan tetapi menjadi suatu kesepakatan (Makmurtono, 1989: 16).
Etika media massa merupakan bagian yang paling banyak disorot dari kemerdekaan pers. Hal ini dikarenakan hilangnya filter yang membatasi antara informasi yang diberikan oleh media massa dengan yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam era kemerdekaan pers ini. Media massa menjadi bebas untuk menayangkan informasi apapun yang mereka suka. Demikian pula dengan masyarakat, dengan semakin bebasnya informasi yang diberikan oleh media, konsumen semakin bebas untuk mengkonsumsi informasi itu. Tentu hal ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif dari hal ini ialah media semakin bebas berekspresi dalam menayangkan informasi dan konsumen semakin variatif dalam memilih informasi apa yang mereka inginkan. Sementara dampak negatifnya ialah semakin hilangnya budaya-budaya masyarakat karena arus informasi yang mengalir bebas ini. Sebagai contoh, saat ini semakin banyak surat kabar, majalah atau tabloid yang hanya menjual sensasi dan sensualitas yang kualitas isinya sebenarnya meragukan dan masyarakat pun bisa dengan bebas membelinya. Hal ini lama-kelamaan akan semakin mengikis nilai kehidupan dan budaya bangsa Indonesia.
Kode Etik adalah peraturan moral, atau pedoman dari tingkah laku yang membantu aksi personal dalam situasi khusus. Dalam konteks jurnalistik, kode etik memegang peranan yang sangat penting dalam dunia pers. Sebagai pedoman nilai-nilai profesi kewartawanan, Kode Etik Jurnalistik wajib dipahami dan dilaksanakan oleh waratwan. Penataan dan pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik juga merupakan wujud dari profesionalisme pers. Menurut Sukardi (2007: 5) terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kode etik dengan hukum. Walaupun sama-sama terhimpun dalam peraturan yang tertulis, kode etik mempunyai beberapa karakteristik yang berbeda dengan hukum. Setidak-tidaknya terdapat empat perbedaan, yaitu (1) soal sanksi, (2) ruang lingkup, daya laku, atau daya jangkau, (3) prosedur pembuatannya, (4) formalitas dan sikap batiniah.
Menurut Alwi Dahlan (2005, sebagaimana dikutip Sukardi, 2007: 25), keberadaan kode etik setidak-tidaknya memiliki lima manfaat:
a. Melindungi keberadaan seorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malpraktik oleh praktisi yang kurang profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antar praktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi; dan
e. Mencegah manuipulasi informasi oleh narasumber
Di sisi lain, sebagaimana tercantum dalam preambule kode etik jurnalistik (KEJ) tahun 2006, kode etik dibuat sebagai pertimbangan bahwa dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, media massa harus menghormati hak asasi publik audiesnya, karena itu media dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.  Salah satu cara menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik sebagai panduan dalam menjalankan profesinya.
Sebagai lembaga sosial yang dapat memberikan pengaruh sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan, jelas moral memegang peran penting dalam pers. Bahkan dalam beberapa hal, pers sendiri dapat berfungsi sebagai penjaga moral tersebut. Betapa membahayakannya apabila pers tidak dilandasi moral yang tinggi. Dengan demikian dalam menjalankan profesinya, wartawan harus memiliki integritas moral yang tinggi.
Kode Etik Jurnalistik menyadari betapa penting dan berharganya moral ini dalam pelaksanaan tugas-tugas kewartawanan. Itulah sebabnya salah satu asas dalam Kode Etik Jurnalistik tak lain adalah asas moralitas. Artinya, Wartawan Indonesia dalam menjalankan pekerjaannya harus senantiasa berpegang pada moralitas yang tinggi. Dengan kata lain, wartawan yang dalam menjalankan pekerjaannya tidak dilandasi oleh moralitas yang tinggi secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. (Iwan Awaluddin Yusuf : 2011)
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Regulasi mengenai media massa di Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah pada dasarnya lebih spesifik ke bentuk regulasi mengenai penyiaran oleh media massa dan mengenai pers. Regulasi mengenai penyiaran pun lebih mengarah kepada penyiaran oleh media massa elektronik, hal ini dikarenakan bahwa definisi siaran itu sendiri lebih merujuk pada proses penyampaian informasi dalam bentuk audio, visual atau audiovisual. Sementara untuk media massa cetak regulasi yang digunakan ialah regulasi mengenai pers. Karena media cetak yang paling umum dan mendominasi di Indonesia adalah surat kabar dan surat kabar merupakan hasil kerja pers. Padahal saat ini hampir semua media massa memerlukan peran pers untuk menyiarkan informasi.
Terlepas dari semua itu, pemerintah telah beritikad baik untuk mengontrol kebebasan media massa di Indonesia tanpa mengurangi kebebasan media massa itu sendiri. Walau bagaimanapun, kebebasan media massa harus menjadi kebebasan yang bertanggung jawab.
Untuk itu pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1966 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers dan disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 oleh Presiden BJ Habibie. Dasar pertimbangan penetapan UU ini adalah, pertama bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Kedua, bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani adalah merupakan Hak Asasi Manusia. Ketiga, bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa harus mendapat jaminan hukum agar dapat melaksanakan asa, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional. Keempat, bahwa pers nasional harus ikut berperan mejaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima bahwa UU nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Selain itu, untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional yang profesional dibentuklah suatu lembaga independen, yaitu Dewan Pers. Fungsi-fungsi Dewan Pers antara lain:
a.    Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain
b.    Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers
c.    Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
d.    Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
e.    Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah
f.    Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan
g.    Mendata perusahaan pers

Pemerintah juga menetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan pemberlakuan UU ini maka UU Penyiaran yang sebelumnya yaitu UU nomor 24 tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dasar dari penetapan UU ini adalah, pertama bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran merupakan Hak Asasi Manusia dan didukung oleh Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedua, bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ketiga, bahwa untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptnya tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang guna mewujudkan kehidupan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keempat, bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Kelima bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian, dan kesatuan bangsa yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Sebagai tindak lanjut dari UU ini dibentuklah suatu lembaga independen untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Wewenang dari KPI antara lain:
1.    Menetapkan standar program siaran
2.    Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran
3.    Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
4.    Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah,lembaga penyiaran dan masyaraka
5.    Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
Sementara itu tugas dan kewajiban KPI antara lain:
a.    Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layakdan benar sesuai dengan Hak Asasi Manusia
b.    Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran
c.    Ikut membangun iklim persaingan yang sehat anatar lembaga penyiaran dan industri terkait
d.    Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang
e.    Menampung, meneliti dan menindak lanjuti aduan, sangahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran
f.    Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalisme di bidang penyiaran
Bisa saja dikatakan bahwa media di satu sisi menjadi instrumen politik yang sangat ampuh untuk melakukan indoktrinasi politik masyarakat. Di sisi lain justru media merupakan sarana membangun kesadaran masyarakat untuk berkontribusi secara aktif dalam  demokratisasi dan penguatan stabilitas sosial. Di Indonesia, memperbincangkan regulasi media tidak dapat serta merta melepaskan tiga varian utama, negara (state), pasar (market), dan masyarakat (society). Hubungan di antara ketiganya bisa harmonis, dalam arti terdapat hubungan mutualisitik yang interaktif, saling mengisi, dan tidak mendominasi. Pada titik ini, hubungan ketiganya menjadi ideal untuk diciptakan. Tetapi bisa juga hubungan ketiganya merupakan hubungan yang mendominasi. Misalnya saja, pasar yang mendominasi  masyarakat, atau hubungan pasar dan negara yang juga mendominasi  kepentingan masyarakat. Bisa pula sebaliknya, masyarakat yang justru menekan pada kepentingan negara dan pasar. Tetapi yang perlu diingat adalah hubungan ketiganya tetap harus menempatkan society sebagai prioritas. Dalam rangka mewujudkan cita-cita ideal hubungan ketiganya menjadi peran penting yang mesti dilakukan oleh negara. Sebagai fungsi regulator, negara berhak dan memiliki wewenang mengatur kebijakan media sehingga menguntungkan semua pihak. Pada tahap ini, fungsi negara menjadi vital untuk merumuskan kebijakan media yang tidak saling mendominasi di antara ketiganya. Saat ini, realitas UU penyiaran dalam media siaran di Indonesia menjadi substere untuk melihat kecenderungan kebijakan itu apakah mengabdi pada kepentingan masyarakat ?
Dalam arti kebijakan negara dalam UU penyiaran tersebut yang mengatas-namakan kepentingan publik semestinya mampu menyelesaikan dan mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam memperoleh atau akses atas dasar kebebasan infomasi.
Sebenarnya berkaitan dengan etika komunikasi massa ada beberapa poin penting yang menjadi dasar dari etika media massa itu sendiri,antara lain: tanggung jawab, kebebasan pers, masalah etis, ketepatan dan objektivitas serta tindakan adil untuk semua orang.
Untuk di Indonesia sendiri, pemerintah tekah menetapkan beberapa pedoman etika yang berkaitan dengan penyiaran dan pers seperti yang tertuang dalam UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, serta ada pula Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang disusun oleh asosiasi-asosiasi wartawan di Indonesia. Akan tetapi masalah etika selalu berpulang kepada pandangan moral para pelaku media massa itu lagi. Saat ini banyak sekali kita temui pelangaran terhadap etika media massa. Dan media massa sendiri cenderung tidak peduli dengan pelanggaran yang mereka lakukan. Hal ini mungkin disebabkan karena pergeseran fungsi media massa yang semakin bergerak ke arah komersialisme dengan adanya sistem oplah untuk media cetak dan sistem rating dan share pada media elektronik untuk mengukur jumlah konsumen dan keuntungan mereka. Selama tingkat konsumsi masyarakat terhadap media itu tetap tinggi, etika dan moral bukan menjadi persoalan utama lagi. Secara singkat ada beberapa hal yang menjadi pondasi adanya regulasi dan etika media massa, diantaranya :
Tujuan
1.    Nilai-nilai yang ada dalam Demokrasi
2.    Hak manusia untuk berekspresi
Aksi
1.    Hak yang dimiliki publik akan informasi yang benar
2.    Tatanan aturan Hukum dan institusi
3.    Hubungan - hubungan kekuasaan
4.    Mempunyai peran asosiasi, lembaga konsumen, komisi pengawas
Sarana
1.    Kesadaran akan moral atau nurani aktor komunikasi
2.    Ilmu deontologi jurnalisme
Dalam UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, etika media massa tercantum dengan jelas pada pasal 36 ayat 1, 3 sampai 6 tentang isi siaran serta pasal 48 ayat 4 dan 5 tentang pedoman perilaku penyiaran. Bunyi ayat-ayat itu anatara lain:
Pasal 36:
• Ayat 1: isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
• Ayat 3: isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan acara pada waktu yang tepat, dan penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebut klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
• Ayat 4: isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
• Ayat 5: isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan SARA.
• Ayat 6: isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia atau merusak hubungan internasional.
Pasal 48:
• Ayat 5: pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan : rasa hormat terhadap pandangan keagamaan; rasa ormat terhadap pribadi; kesopanan dan kesusilaan; pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sedisme; perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan; penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak; penyiaran program dalam bahasa asing; ketepatan dan kenetralan program berita; siaran langsung; dan siaran iklan
• Ayat 6: KPI memfasilitasi kode etik penyaiaran.
Sementara itu dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers, pedoman etika dinyatakan dalam pasal 7 ayat 2 yang berbunyi: “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik”.
Selain peraturan dari pemerintah, pada tanggal 6 Agustus 1999 di Bandung juga dideklarasikan KEWI yang disusun oleh 26 asosiasi-asosiasi wartawan di Indonesia. Ke-26 asosiasi wartawan itu antara lain: AJI, ALJI, AWAM, AWE, HIPSI, HIPWI, HIWAMI, HPPI, IJTI, IPPI, IWARI, IWI, KEWADI, KO-WAPPI, KOWRI, KWI, KWRI, PEWARPI, PJI, PWFI, PWI, SEPERNAS, Serikat Pewarta, SOMPRI, SWAMI, SWII.
Tujuan dari disusunnya KEWI ini yaitu untuk membentuk landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.
KEWI berisi 7 poin. Ke-7 poin itu antara lain:
1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta membeberkan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas-asas praduga tak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta-fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenran informasi.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan dan melayani Hak Jawab.
Dalam kaitan antara etika dan tanggung jawab sosial, posisi pers yang strategis rentan terhadap berbagai godaan, gangguan dan penyimpangan, yang jika tidak dikelola dengan benar akan berdampak sangat buruk terhadap kehidupan masyarakat. Oleh karena itu Kode Etik Jurnalistik sebagai perwujudan tanggung jawab sosial memiliki dua dimensi, yakni profesionalitas dan moralitas. Masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, profesionalitas. Profesionalitas merupakan salah satu dasar utama dalam pekerjaan seorang wartawan. Tanpa adanya profesionalitas, tidak mungkin pers menghasilkan karya yang sesuai dengan fungsi dan peranan pers. Oleh karena itu Kode Etik Jurnalistik menghargai sekali profesionalitas dan menempatkan profesionalitas sebagai bagian yang sangat penting dari harkat martabat seorang wartawan.  Asas profesionalitas ini antara lain tercermin dari:
1.    Pers harus membuat dan menyiarkan berita yang akurat.
2.    Pers harus menghasilkan berita yang faktual.
3.    Wartawan tidak melakukan plagiat.
4.    Wartawan harus dapat menunjukan identitas kepada narasumber, kecuali dalam kasus investigative.
5.    Pers selalu menguji (cek and ricek) informasi yang ada.
6.    Pers tidak mencampurkan fakta clan opini yang menghakimi. g. Pers menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record.
7.    Pers segara mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.
Secara sederhana pengertian asas ini adalah wartawan harus menguasai bidang pekerjaannya, baik dari segi teknis, sikap maupun filosofinya. Dengan demikian wartawan Indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai dengan norma-norma kewartawanan dan memiliki pemahaman terhadap nilai-nilai filosofi profesinya. Tegasnya, wartawan Indonesia dituntut untuk mampu melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan standard-standard yang telah ditentukan untuk bidang kewartawanan. Penyimpangan terhadap standard yang telah ditentukan berarti menunjukkan bahwa wartawan yang bersangkutan telah bertindak tidak profesional, sehingga otomatis pula wartawan itu telah melanggar asas profesionalitas dalam Kode Etik Jurnalistik.
Banyak sekali contoh mengenai standar profesional yang harus dipenuhi wartawan Indonesia dalam praktik. Misalnya standar mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar yang harus melekat pada wartawan Indonesia: akurat, menguji setiap informasi yang ada dan terpercaya. Kode Etik Jurnalistik menuntut wartawan mempunyai tingkat kecermatan yang tinggi. Begitu pula wartawan harus mempunyai keahlian dalam mengolah mana opini dan mana fakta, serta merangkai keduanya secara tepat. Wartawan yang melanggar standard ini berarti dengan sendirinya mereka sudah melanggar standar profesional. Tindakan seperti itu berarti otomatis melanggar pula asas profesional dalam Kode Etik Jurnalistik.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sebetulnya hanya wartawan yang profesional sajalah yang sebaiknya sudah boleh berpraktik. Sebab jika ada wartawan yang tidak profesional sudah praktik, maka hal itu sama saja dengan menyuruh wartawan yang bersangkutan melanggar Kode Etik Jurnalistik. Asas profesional memang menyebabkan secara tidak langsung harus ada semacam seleksi kualitas untuk menjadi wartawan, yakni tidak semua orang mampu menjadi wartawan (profesional). Konsekuensi lebih lanjut dari hal ini, mereka yang baru pertama kali terjun ke dalam profesi wartawan sebaiknya diberikan kesempatan lebih dahulu untuk mengenali dunia wartawanan .
Kedua, moralitas. Kode Etik Jurnalistik menjadi moral dan sebagai salah satu pilar bagi wartawan ketika menjalankan profesinya. Hanya jika memiliki moralitas yang tinggi ketika menjalankan tugas, pers dapat pula menjaga moralitas masyarakat dan bangsa.
Asas moralitas ini dalam KEJ antara lain tercermin dari:
Pers tidak beritikad buruk.
1.    Pers menghormati hak-hak pribadi atau privasi orang lain.
2.    Pers menghormati pengalaman traumatik narasumber.
3.    Pers tidak membuat berita cabul dan sadis.
4.    Pers tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak.
5.    Tidak menyebut identitas korban kesusilaan.
6.    Wartawan tidak menerima suap.
7.    Wartawan tidak menyalahgunakan profesi.
8.    Wartawan segera minta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat atau keliru.
9.    Pers tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA, jender dan bahasa.
10.    Pers tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat (jiwa maupun fisik).
Pentingnya moralitas ini lebih jelas lagi terdapat dalam Pasal 1 yang dengan tegas menyatakan, wartawan Indonesia tidak beritikad buruk. Jadi sejak awal bekerja dalam hati nuraninya wartawan Indonesia tidak boleh bertikad buruk. Sejak awal wartawan Indonesia tidak boleh ada niat sedikitpun untuk dengan sengaja semata-mata untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Wartawan Indonesia dituntut untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan demi kepentingan masyarakat luas. Tak boleh ada niat dalam hati wartawan Indonesia untuk sengaja semata-mata merugikan pihak lainnya. Niat atau niat baik dapat diukur dari parameter apakah sang wartawan sudah menjalankan prosedural dan standars yang telah ditetapkan Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik dengan jelas juga menyebut,” wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Adanya pasal ini tanpa diragukan lagi wartawan Indonesia dalam melaksanakan pekerjaannya dilarang melakukan dan menerima sogok, suap dan sejenisnya. Larangan ini untuk menjaga moral wartawan agar tetap dapat menjaga indepensinya dalam menjalankan tugas yang diembannya.
Terkait amplop ini muncul pertanyaan: Jika memang tidak ada pihak yang dirugikan mengapa tidak boleh? Hal ini kembali lagi kepada landasan moral dan tanggungjawab sosial yang tinggi. Walaupun secara tidak langsung tidak ada yang dirugikan, tetapi suap bagaimanapun juga akan menyebabkan adanya semacam keberpihakan kepada pemberi suap dan mengarahkan kepada sikap pers yang tidak lagi profesional, fair, dan berimbang. Hal ini secara keseluruhan akan juga merugikan perkembangan dan moralitas pers. Oleh sebab itu ditetapkan suap dilarang baik untuk yang merugikan atau menguntungkan seseorang.
Begitu tinggi tingginya moralitas yang dituntut terhadap wartawan ketika menjalankan profesinya sehingga wartawan tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA,  jender, dan bahasa. Pers tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat (jiwa maupun fisik).  Ini mengandung pengakuan bahwa pada dasarnya manusia memiliki persamaan derajat.
Keharusan melaksanakan moralitas yang tinggi dalam menjalankan profesinya terdapat juga dalam pasal 5. Menurut pasal ini, wartawan tidak menyebut dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Lagi-lagi hal ini kembali tidak lain memperlihatkan moral yang dianut oleh Kode Etik Jurnalistik. Di balik pengaturan yang melindungi identitas itu dikandung niat tetap menjaga masa depan korban susila dan anak-anak di bawah umur. Betapapun dinamiknya masyarakat Indonesia dan sudah pula memiliki struktur sosial yang sangat terbuka, tetapi tatanan nilai masyarakat Indonesia masih memandang masalah kesusilaan sebagai masalah yang peka. Apabila identitas korban perbuatan susila dijelaskan atau diungkapkan, dikhawatirkan masa depan anak itu akan sulit diperbaiki. Maka diambil ketetapan untuk melindunginya.Jalan pikiran itu membuktikan bahwa moral wartawan dalam menjalani profesinya senantiasa menjaga prospek anak-anak Dan menghindarinya dari kemungkinan “dihancurkan” oleh proses pemberitaan. Ini mencerminkan betapa tingginya integritas moral bagi wartawan manakala sedang menjalankan profesinya. Kode Etik Jurnalistik beranggapan hanya moralitas wartawan ketika menjalankan profesi yang bersih dan tinggi saja yang dapat menjaga dan membersihkan moral masyarakat. Sementara itu tanpa diminta pun wartawan Indonesia diwajibkan meralat sekaligus meminta maaf apabila mengetahui berita yan, dibuatnya tidak benar. Pengakuan terhadap kesalahan diri sendiri mennyiratkan adanya moralitas yang tinggi dalam diri wartawan.
Di Amerika, kebijakan pemerintah diperoleh dari wakil rakyat yang dipilih dalam kongres atau badan pembuat undang-undang, yang ditetapkan hakim kepada berbagai pengadilan.  Badan hukum juga membuat kebijakan berdasar pada keputusan mereka sendiri, seperti jenis jasa apa yang yang ditawarkan dan berapa harganya.  Beberapa institusi yang penting dalam proses pembuatan kebijakan, antara lain (1) The Federal Communications Commission (FCC), komisi yang mengatur sebagian besar aspek komunikasi, (2) The National Telecommunication and Information Administration (NITA), badan yang melindungi beberapa aspek dari kebijakan penelitian dan kebijakan Internasional, dan (3) The Federal Trade Commission (FTC), komisi yang memonitor kegiatan perdagangan dan bisnis. Kongres mengesahkan hukum tentang komunikasi. Departemen Kehakiman dan Sistem Peradilan, terutama Pengadilan wilayah Federal melaksanakan dan mengartikan hukum yang ada. (Iwan Awaludin : 2010)

KESIMPULAN DAN PENUTUP

1. Kesimpulan
Disinilah regulasi berperan untuk menjaga kepentingan masyarakat dari kepentingan-kepentingan tertentu. Tujuannya yaitu untuk meminimalisir masyarakat yang memiliki potensi besar untuk menjadi korban konvergensi media, khususnya generasi muda yang dianggap memiliki akses terhadap media konvergen dan rancunya batasan seberapa jauh isi media konvergen dianggap melanggar norma yang berlaku..Namun, yang menarik ialah bahwa teknologi selalu mendahului regulasi. Bagaimana caranya mengontrol semua ini? Yang dianggap paling berwenang ialah negar akarena negara dianggap penyeimabng antara pasar dan masyarakat. Di sisi lain negara mempunyai wewenang untuk menjaga efektifnya sebuah regulasi.
Secara ideal hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat seharusnya berjalan seimbang. Jangan sampai salah satu pihak mendominasi dan masyarakat hanya bisa menerima informasi apa yang diberikan media.

Ada beberapa catatan penting tentang pelaksanaan etika media massa, antara lain:
1. Pelaksanaan etika media massa masih membutuhkan perjuangan yang berat dan terus menerus. Etika media massa sangat sulit untuk dilaksanakan oleh semua pihak. Visi, misi, dan orientasi yang berbeda-beda antar media massa menyebabkan perbedaan pla dalam pelaksanaan etika. Media yang orientasinya pada keuntungan materi dengan mementingkan pasar akan lebih cenderung untuk mengekspos berita yang sensasional, bombastis, kriminal atau bahkan seks. Media seperti ini akan kesulitan dalam menerapkan etika media massa.
2. Pelaksanaan etika bisa terhambat karena masing-masing pihak membuat ukuran sendiri-sendiri mengenai etika.
3. Pelaksanaan etika media massa sulit diwujudkan karena tanggung jawabnya terletak pada diri sendiri dan sanksi masyarakat.
4. Semakin tinggi pendidikan masyarakat, semakin sadar mereka akan pentingnya pelaksanaan etika media massa, walaupun hal ini belum menjadi jaminan. Semakin tinggi pendidikan, justru kadang membuat kita semakin gampang untuk mengakali pelanggaran etika.
2.    Penutup
“ Kita hidup di alam Demokrasi sobat, kebebasan untuk mengatakan sesuatu dan menuangkannya dalam media dan lainnya tak dapat dan tak boleh di bendung”
Benarkah..? Tidakkah kita berpikir bahwa disamping hak ada tanggungjawab, setelah bebas ada aturan, dan lebih utama lagi bahwa kita tidak hidup sendiri di bumi Tuhan ini. Konsekwensi logisnya adalah, kebebasan kita dibatasi pula oleh kebebasan orang lain, lebih spesifiknya ada regulasi dan etika dipalung kebebasan kita, terutama di media massa.
Oleh karena itu, egulasi dan Etika merupakan sebuah hal yang mutlak diperlukan dalam kehidupan ini, namun juga paling sering dilupakan oleh kita sebagai komunikator. Apalagi, dalam era web 2.0, manusia semakin diberi akses untuk mengutarakan perasaannya melalui banyak jalur. Dengan banyaknya arus informasi yang beredar di internet serta dengan cepatnya perkembangan dunia internet sekarang ini, menjadi tantangan tersendiri bagi penegakkan etika dan hukum dalam dunia komunikasi. Untuk itu dibuatlah cyberethics, yaitu seperangkat peraturan yang mengacu pada perilaku bertanggung jawab di dalam dunia internet. Aturan dasarnya sederhana: dalam ruang siber, jangan lakukan sesuatu yang dianggap salah atau ilegal untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menggunakan bahasa yang kasar, merendahkan, bersifat bullying, dan tidak melanggar hak cipta. Terimakasih

DAFTAR PUSTAKA

Rahardi,kunjana. 2006 dimensi-dimensi kebahasaan. Yogyakarta :pt. Gelora aksara.
Budiarjo, miriam, dasar-dasar ilmu politik, pt. Gramedia pustaka utama, jakarta
Mas’oed mukhtar, dan andrew mac collin, 2000, perbandingan sistem politik,gajah mada university press, yogyakarta.
Carlton clymer, 2000, pengantar ilmu politik, raja grafindo persada, jakarta
Harmonis, dr. Fal., m.si, makalah dan jurnal perkuliahan komunikasi politik, umj, 2012
Dan nimo, komunikasi politik, 2005, rosydakarya, bandung. Cet-vi
Wahid, umaimah, dr, materi perkuliahan ekonomi media politik, pascasarjana umj, 2011
Uu penyiaran no. 32 tahun 2002, internet.jujun s. Suriasumantri, filsafat ilmu sebuah pengantar populer, 1994.
Titus, smith, nolan, persoalan-persoalan filsafat, 1984.
Stephen l. Littlejohn, the theoris of human communication, 1996.
Heryanto, Gun Gun, Dinamika Komunikasi Politik, Jakarta, PT. Lasswell Visitama, 2011.
Internet :
Http://alumnihmm.blogspot.com/2008/04/pengertian-retorika.html
http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2096138-pengertian-retorika.
Bincang Media, blog iwan awaluddin yusuf dosen ilmu komunikasi universitas islam indonesia (uii), peneliti di pusat kajian media dan budaya populer (pkmbp) dan pemantau regulasi dan regulator media (pr2media) yogyakarta.
Pandi, muchlisin. Blogspot.com/2010/04/retorika.
www. Google.com
Wikipedia
Surat Kabar :
Tempo, 28 Februari 2010
Kompas, 20  Agustus 2010

1 komentar:

  1. Bagi pembaca media online kacangan,ada baiknya kita fahami ini

    BalasHapus